.
.
Akhir-akhir ini tampaknya sang mentari sedang bersedih. Sering sekali bersembunyi di balik gumpalan kapas putih. Yang perlahan menebal dan menggelap menjadi kelabu. Jika sudah seperti itu, maka tinggal menunggu waktu hingga air langit turun.
Tak terkecuali hari ini. Padahal masih siang hari, tapi sepertinya air mata sang mentari tak dapat terbendung lagi. Air langit terus berjatuhan tanpa henti. Mengguyur deras, menyebarkan bau basah yang menyeruak bagai kabut tipis saat bertabrakan dengan jalan-jalan beraspal dan ranting pepohonan.
Di sana, di bawah payungan atap sederhana dengan tiang-tiang besi penyangga tanpa adanya dinding kokoh sebagai penghalang. Sia duduk di atas kursi panjang. Menunggu alat transportasi yang tampaknya enggan untuk menerobos derasnya hujan saat ini.
Sia masih mengenakan seragam sekolahnya. Dengan tas samping dan beberapa buku tebal yang ia letakkan di samping tempat duduknya. Sesekali melihat jam tangan dan ponsel bergantian. Berharap akan ada notifikasi, di mana transportasi online yang ia pesan akan segera datang dan mengakhiri kebosanannya.
Sia mengetuk-ngetukkan jari pada kursi besi. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Lalu mengintip di balik atap pelindung. Ia mendesah, awan di atasnya masih saja gelap. Tidak ada tanda-tanda hujan ini akan segera reda. Padahal sudah hampir satu jam ia duduk manis di sana.
Menyadari harapannya untuk segera sampai di rumah tidak akan terwujud, bibirnya tampak mengerucut masam. Memutuskan bersenandung lirih, mengusir sepi karena hujan membuatnya terjebak di halte bus seorang diri.
Jika tahu akan hujan sederas ini, Sia merasa sedikit menyesal karena menolak tawaran pulang bareng Aden tadi.
Yah, rumah mereka memang tidak searah. Namun, setidaknya Aden tentu tidak akan meninggalkannya di tengah jalan seperti yang kerap Gio lakukan.
Terhitung hari ini, sudah tiga hari Sia bersekolah menggunakan taksi. Jangan tanya mobilnya ke mana, karena sudah pasti masuk bengkel seperti yang kerap terjadi. Kali ini Sia menabrak pohon rambutan depan komplek.
Entah Sia yang tidak pandai menyetir, atau memang mobilnya yang tidak mau ia naiki. Atau mungkin mobilnya memiliki jiwa sejenis kalong-kalongan. Karena selama ini, saat Sia oleng, mobilnya selalu memilih menubrukkan diri pada pohon buah milik tetangga.
Memikirkannya saja membuat Sia sakit kepala. Karena supirnya yang dulu sudah dipecat dengan alasan agar ia bisa belajar mandiri. Siapa lagi yang bisa menghasut ayahnya selain Gio si berengsek yang memesona. Yang sampai sekarang masih sibuk mengurus bisnis keluarga entah di belahan bumi yang mana.
Entah sudah berapa lama Sia melamun ditengah gemerisik hujan hingga tak menyadari sebuah mobil berwarna silver melaju ke arahnya.
Saat mobil itu sudah dekat, barulah Sia menyipitkan mata. Menelisik driver online macam apa yang memiliki mobil mewah keluaran terbaru. Persis seperti yang ada di koran yang ia baca tadi pagi.
Matanya tak lepas sampai mobil itu berhenti. Fokus menelisik dari bamper depan hingga ban belakang.
Bukan penasaran siapa pengemudi di dalamnya, tapi mencoba mengingat harga yang tertera di koran yang ia baca. Jika Sia tak salah ingat, mobil ini berkisar antara enam puluh hingga tujuh puluh M.
M yang berarti Miliar, bukan Monopoli.
Pintu kemudi tampak didorong hingga sedikit terbuka, diikuti oleh payung hitam yang dikeluarkan oleh seorang pria, menerobos derasnya hujan untuk menghampiri Florensia.
Pria tampan dengan tinggi sekitar seratus delapan puluh centi. Mengenakan coat coklat tua di balik kemeja hitam yang dikenakannya. Pemilik surai pendek dengan tatanan seperti idol-idol korea. Telinga kanannya ditindik, tatapannya selembut beludru dibalik manik legam yang menyorot dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
The DEVIL'S WOMAN ✔️
FantasySPIN OFF LILY & THE DEMON PRINCE (Fantasy-Romance) 18+ ZEAN LUCIFER. Sang putra mahkota kegelapan tiba-tiba memutuskan untuk tinggal di dunia manusia. Membangun sebuah perusahaan layaknya manusia pada umumnya hanya demi seorang gadis yang membuatny...