28. Nasib TSB

448 44 0
                                    

Minggu adalah waktu yang baik untuk menulis. Karena sesuai kesepakatan beberapa pekan yang lalu, Alda sudah resmi terdaftar pada lomba menulis novel tingkat nasional oleh penerbit besar di Indonesia.

Tangan mulus Alda begitu lihai menari di atas keyboard laptopnya. Sesekali ia mengistirahatkan sejenak jarinya seraya berpikir keras tentang kata apa yang sesuai untuk dimasukkan ke dalam tulisannya tersebut.

Dari puluhan judul novel yang telah Alda buat semenjak SMP, ia akhirnya memutuskan untuk membenahi satu judul novel yang menurutnya paling baik di antara novel lainnya.

Ada keraguan dan ketidakpercaya dirian dalam diri Alda. Ia pikir pasti akan ada banyak saingan yang memiliki tulisan jauh lebih bagus dari miliknya. Namun di sisi lain Alda pun ingin membuktikan pada orang-orang yang telah menganggapnya remeh bahwa ia bisa, juga Alda pun tentu tidak ingin mengecewakan mereka yang masih mau mendukungnya.

Dini, Julio, Dikta, dan...

Kak Zafran

Nama tersebut terpampang di layar ponsel Alda dengan keterangan video call Whatsapp.

Alda yang tak siap merasa jantungnya berdegup kencang, namun tak ayal ia pun membenahi rambutnya yang tergerai.

Begitu Alda menggeser tombol hijau, seketika itu layar ponselnya memunculkan sesosok wajah laki-laki yang rupawan nan mempesona.

"Haiiiii!!!" sapa Zafran seraya melambaikan tangannya.

"Eemm, hai juga" balas Alda kikuk.

"Lagi ngapain? Pasti lagi nulis ya?" Tanya sekaligus jawab Zafran sendiri.

Ya, sudah seminggu ini hubungan Alda dengan Zafran benar-benar membaik. Bahkan Alda sudah membeberkan mengenai keikutsertaannya dalam lomba tulis novel ini padanya. Sejujurnya karena Zafran yang terus menerus kepo kala melihat Alda yang terkadang asyik sendiri mengetik sesuatu pada laptopnya, maka karena Alda yang sudah tak tahan dengan sikap Zafran yang terus mengusik, Alda pun akhirnya mengatakan hal itu pada Zafran.

Hal baiknya hubungan Alda dengan Letta pun semakin dekat. Beberapa kali keduanya bertemu dan berbincang ringan hingga membuat keduanya saling mengerti bahwa dia tak seburuk yang ada dipikirannya.

Alda tersenyum seraya mengangguk pelan sebagai balasan untuk Zafran.

"Wah... semangat ya! Aku yakin kamu pasti bisa. Dan aku percaya kalau tulisan kamu pasti yang paling bagus" cuap Zafran.

"Gak usah berlebihan deh, tapi makasih ya semangatnya?"

"Pasti! Eh tapi... kalau nanti novel kamu udah berupa fisik, aku harus jadi orang pertama yang baca buku itu" pinta Zafran tandas.

"Ih enggak ah, malu tau!"

"Loh kok malu? Gimana sih? Nanti kalau udah jadi novel, terus best seller, berarti kan banyak orang yang mau baca dan suka sama novel kamu" protes Zafran.

Alda kemudian berpikir, sebenarnya tak masalah bila orang-orang membaca bukunya, tapi Zafran... entah mengapa ia begitu spesial hingga membuatnya ragu sendiri untuk mendapatkan kata pantas bila buku tersebut dibaca oleh Zafran.

"Udah, gak usah kebanyakan mikir, pokoknya kalau nanti novel kamu udah terbit, kamu harus kasih satu novel itu buat aku. Biar nanti bisa aku peluk-peluk" ungkap Zafran.

"Heemm... dibaca dong, bukan dipeluk" protes Alda seraya merengut.

"Ya daripada kamu yang aku peluk?"

Seketika itu pipi Alda terasa panas, berharap layar kamera di ponselnya dapat menyamarkan rona merah yang sudah menjalar karena godaan Zafran.

"Zafrann!!"

Ekstrovert & Introvert [SELESAI✔️] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang