"Wendy Nuna! Cepat turun, kita harus berangkat sebelum hari semakin siang," Jongin sudah memanggil salah satu kakaknya berulang kali, namun yang dipanggil tidak juga keluar dari kamar.
"Jangan berteriak seperti itu, Jongin," Irene menyerahkan beberapa kotak bekal bersusun pada Jongin, "Taruh ini di mobil, aku akan memanggilnya."
Jongin menganggukkan kepalanya, "Baiklah, Nuna."
Irene menapaki anak tangga dan langsung berbelok ke arah kamar Wendy yang pintunya tidak tertutup rapat. Ia bisa melihat sang adik sudah berpakaian rapi dengan tas kecilnya yang tersampir di bahu, namun ia masih duduk termenung di tepi ranjang.
"Wendy? Apa kau baik-baik saja?"
"Aah, Eonnie? A-aku baik-baik saja. Maaf menunggu lama, ayo kita turun," Wendy tampak gusar yang langsung disadari oleh Irene hingga menahan tangannya dan mendudukkan Wendy kembali. Ia tahu apa yang terjadi pada adiknya.
Irene duduk di samping Wendy yang belum juga mengangkat wajah, jemari mereka bertautan di atas tungkainya, "Kau ingat saat aku pertama kali berhasil mengayuh sepeda roda dua?" Wendy mengangguk pelan, "Belum lama aku bisa mengendarai sepeda, tiba-tiba kau memintaku memboncengmu. Kau tahu seberapa takutnya aku? Tapi, apa kau ingat yang kau katakan padaku saat itu?"
Wendy mengangkat wajah perlahan dan melihat wajah kakaknya yang tersenyum, "Eomma bilang orang yang saling menyayangi tidak akan pernah menyakiti satu sama lain dan aku percaya Eonnie tidak akan membuat kita jatuh," Ia melafalkan kalimat yang pernah diucapkannya bertahun silam ketika ia mendapati wajah ketakutan Irene memboncenginya yang baru saja bisa mengayuh sepeda.
"Apa sekarang kau tidak percaya padaku?"
"Aku percaya padamu, Eonnie," Wendy memeluk kakaknya erat, "Maafkan aku."
Irene kembali tersenyum sembari mengusap punggung adiknya, "Aku berjanji tidak akan membuatmu terluka lagi, Wendy-ya," Ia melonggarkan pelukan mereka sesaat dan melihat anggukan kepala Wendy, "Jadi, dimana sekarang senyum menyebalkanmu itu?" Irene mencubit gemas pipi Wendy untuk mencairkan perasaannya.
Wendy mengembangkan senyumnya dalam sekejap, "Kaja, kita turun. Sebelum bayi beruang merengek karena kita terlalu lama."
Irene dan Wendy segera menuruni anak tangga dan beranjak keluar, sementara Jongin sudah memajukan bibirnya di depan mobil sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "Kalian lama sekali, apa semua perempuan selalu bersiap lebih lama saat akan pergi? Sepertinya aku memilih untuk tidak memiliki istri saja kalau begitu."
"Apa kau bilang? Istri? Belajar dulu yang benar agar nilai ujianmu membaik, Adik kecil," Wendy menepuk kepala Jongin asal ketika melewatinya, sukses membuat Jongin hampir melayangkan balasannya sebelum menyadari ekspresi Wendy yang tiba-tiba berubah saat di depan pintu mobil.
"Kali ini kau kumaafkan," Jongin membukakan pintu penumpang depan untuk Wendy, "Kau boleh duduk di depan untuk hari ini," Wendy masih terdiam dalam posisinya. Ia meragu lagi, ini tidak mudah untuknya. Bayangan-bayangan itu menghantui dan berusaha menerobos dinding yang ia buat untuk bertahan, "Jangan takut, aku ada di belakangmu dan Irene Nuna di sampingmu. Kita akan baik-baik saja, percayalah," Jongin meremas jemari Wendy memberi keyakinan, membuat Wendy menarik nafasnya panjang sebelum benar-benar memasuki mobil.
Sepanjang perjalanan menuju orang tua mereka, beberapa kali Irene melepaskan satu tangannya dari kemudi untuk menggenggam tangan Wendy yang dirasanya hampir membeku karena menahan rasa takut. Irene berusaha mencairkannya dengan sebuah usapan lembut. Berbeda dengan Jongin yang menjejalkan Wendy dengan berbagai macam camilan yang dibawa sembari bertanya hal-hal lain untuk mengalihkan perhatian Wendy dari perasaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEAL | baekrene - hunrene'story
FanfictionHighest rank: #4 in baekrene "Dunia begitu kejam, rasanya sesak. Entah sampai kapan aku bisa bertahan - Irene" *** "Cerita ini belum selesai, itulah mengapa aku memberi tanda koma di sana. Entah nanti titiknya berakhir bahagia atau sebaliknya, aku t...