Setelah berganti Dokter kondisi Kirani menunjukkan perubahan, diarenya mulai berkurang dan berangsur-angsur sembuh. Selama 10 hari Devika dirawat, akhirnya diperbolehkan pulang.
Sebelum pulang kami harus mengurus biaya Kirani selama di RS, yang ternyata mencapai angka hampir 9 juta rupiah. Sebelumnya kami memang sudah mempersiapkan dana tersebut, yah walau kami harus berhutang kesana kemari. Setelah semua biaya lunas dibayar, Kirani diperbolehkan meninggalkan Rumah Sakit.
Setelah Kirani pulang kerumah, beberapa hari setelahnya Kirani tidak bisa buang air besar karena fesesnya keras. Kali ini aku membawanya ke klinik dekat rumah, agar Kirani bisa mengeluarkan fesesnya yang keras itu.
Di klinik Dokter memberikan obat lewat anus, dan tidak menunggu lama Kirani bisa buang air besar. Beberapa hari setelah dari Dokter klinik itu, Kirani kembali panas badannya. Setelah aku beri obat penurun panas, panas tubuh Kirani tidak turun juga, panasnya semakin tinggi hingga mencapai angka 40°.
Aku dan suamiku kembali membawa Kirani ke IGD Rumah Sakit, tempat sebelumnya Kirani dirawat. Waktu itu memasuki pertengahan bulan Februari 2016, dan kali ini pun Kirani kembali harus dirawat.
Untuk yang ke 2 kalinya Kirani kembali dirawat, dan kali ini Kirani dirawat selama 7 hari. Selama 7 hari dirawat dan diberikan obat, panasnya hanya turun diangka 37,5°, dan Kirani harus melakukan beberapa tes diantaranya tes darah dan tes mantoux.
Tes mantoux adalah tes untuk mendiagnosis penyakit TBC, biasanya disuntikan ke kulit tangan lalu diperban, dan selama 2 hari tidak boleh kena air. Pada hari ke 5 dirawat Kirani melakukan tes darah dan tes mantoux itu, dan hari ke 7 saat Dokter visit, Suster membuka perban bekas suntikan tes mantoux, dan Dokter membacakan hasilnya.
Berhubung Kirani sangat kurus, hasil tesnya tidak kelihatan atau negatif TB, namun Dokter menjelaskan bahwa hasil tesnya, bisa saja tidak muncul tanda merah dibekas suntikan mantoux, karena badan Devika terlalu kurus.
Sedangnya hasil tes darahnya menunjukkan kalau laju endap darahnya (LED) tinggi. Akhirnya Dr. Khatin SpA memutuskan kalau Kirani harus menjalani pengobatan TB selama 6 bulan, dan Dokter mengizinkan Kirani pulang di hari ke 7 itu, karena sudah tidak ada keluhan lagi, dan kondisinya jauh lebih baik. Kirani juga wajib kontrol 1 bulan sekali sebelum obat OATnya habis.
Selama 3 bulan Kirani rutin kontrol ke Rumah Sakit, tidak ada keluhan selama 3 bulan kontrol tersebut, hanya kontrol rutin biasa. Namun lagi dan lagi setelah 3 bulan tepatnya akhir Mei 2016, Kirani kembali panas badannya, kali ini sampai 40,5° panas badannya, dan diberi obat penurun panas hanya mampu turun di angka 38°.
Kali inipun aku dan suami membawa Kirani kembali ke IGD Rumah Sakit pada sore hari. Sesampainya disana, Kirani langsung ditangani oleh Dokter jaga, dicek lagi suhu tubuhnya dan naik lagi ke angka 40°. Dokter langsung bilang ini harus dirawat, kalau tidak mau harus membuat surat pernyataan. Tapi aku dan suami menyetujui agar Kirani dirawat lagi untuk yang ke 3 kalinya.
Setelah menyelesaikan pendaftaran, Kirani dibawa keruang perawatan, disana ada suster yang mengenali Kirani langsung menyapa.
"Aduh si kecil masuk lagi aja, kirain udah besar masih imoet aja sih kamu! Kenapa lagi ini Bu, Kirani?" Tanya Suster.
"Panas Sus, suhunya sampai 40,5°" jawabku.
"Dari kapan Bu, panasnya?" Tanya Suster lagi.
"Baru tadi sore Sus, tapi aku beri obat penurun panas, masih tidak turun juga panasnya" jawabku.
"Coba saya cek lagi suhunya ya Bu, masih panas 39°" ucap Suster saat mengecek suhu tubuh Kirani.
"Tadi di IGD sudah diberikan obat penurun panas ya Bu, jadi nanti 2 jam lagi baru diberikan lewat infus" tambah Suster menjelaskan.
"Iya Suster, terima kasih" balasku.
Setelah melakukan pemeriksaan dan pendataan, Suster tersebut kembali ke ruangannya. Karena baru hari pertama dirawat, biasanya Kirani lebih sering menangis. Waktu saat itu menunjukkan pukul 9 malam, dan aku dapat kabar dari rumah kalau Athifa juga mendadak panas badannya mencapai 40,5°.
Aku meminta orang tuaku untuk memberi Athifa obat penurun panas, namun panasnya tidak kunjung turun, bahkan saat Subuh badannya menggigil dan muntah-muntah. Pagi harinya aku meminta suamiku membawa Athifa ke IGD RS tempat adiknya dirawat, namun Dokter jaga IGD hanya menyuruhnya untuk berobat jalan saja, dan mengkonsumsi obat yang sudah diresepkan.
Akhirnya Athifa pulang kerumah dan meminum obat yang diresepkan Dokter, kondisi Kirani diruang perawatan juga masih turun naik panasnya. Menjelang siang aku mendapat kabar dari suamiku yang saat itu sedang dirumah, kalau panas badan Athifa sudah turun, aku sedikit lega mendengarnya.
Jam besuk tiba, suami, ibu dan Athifa datang ke RS untuk menjenguk Kirani. Aku heran kenapa suamiku membawa Athifa ke RS, padahal konsisi Athifa sedang sakit. Suamiku menjawab kalau Athifa yang memaksa ke RS untuk melihat adiknya. Aku dekati Athifa, dan aku pegang tangannya.
"Ya Allah yank, ini badan kakak masih panas! Kamu bilang tadi sudah turun!" ucapku kepada suamiku.
"Iyah memang tadi sudah turun panasnya, sudah mau makan juga" jawab suamiku.
"Ya sudah kamu tunggu disini, aku mau pinjam thermometer dulu sama Suster!" pintaku pada suamiku.
Aku meninggalkan suamiku bersama Athifa dan Kirani juga Ibuku, untuk meminjam thermometer. Ternyata setelah aku cek suhu tubuh Athifa dengan thermometer yang aku pinjam, suhu tubuhnya mencapai 40,5°. Aku mengembalikan Thermometer itu kepada Suster, dan memberi tahu hasilnya pada Suster.
"Sus lihat deh panas badan anakku!" ucapku pada Suster.
"Ini punya Kirani, Bu?" tanya Suster setelah melihat angka di thermometer yang aku berikan.
"Bukan Sus, itu punya anak aku yang pertama Sus, tadi pagi sudah berobat ke IGD tapi disuruh rawat jalan saja" jawabku.
"Bisa tidak yah Sus, anakku dirawat juga disino, karena setelah minum obat tidak ada perubahan juga!" tambahku bertanya pada Suster.
"Memang sudah berapa lama panasnya, Bu?" tanya Suster.
"Sama seperti adiknya, baru kemarin panasnya, Sus" jawabku.
"Biasanya kalau dirawat itu panas badannya sudah lebih dari 3 hari Bu, tapi Ibu coba saja bawa lagi ke IGD anaknya, siapa tahu ada kebijaksanaan dari pihak IGD" jawab Suster.
Aku langsung memberitahu suamiku, dan memintanya untuk membawa Athifa ke IGD lagi. Suamiku mau menuruti permintaanku dan kembali membawa Athifa ke IGD bersama Ibuku.
Lumayan lama aku belum mendapat kabar dari suamiku, sampai akhirnya ia mmberikan kabar lewat WA.
"Yank kata Dokter jaganya, Kakak harus tes darah, tapi harus bayar dulu biayanya sebesar Rp. 525.000" isi WA dari suamiku.
"Ya sudah, kamu bayar saja!" balasku di WA.
"Iyah, ini sudah bayar dan kakak lagi diambil darahnya, nanti kalau hasilnya positif DBD kakak baru bisa dirawat, tapi kalau tidak ya rawat jalan saja" balasan WA dari suamiku.
Butuh waktu 2 jam menunggu hasil tes darahnya keluar, sambil menunggu kabar dari suamiku, aku hanya tiduran saja menemani Kirani yang kebetulan saat itu tidak rewel. Tiba-tiba suamiku datang menghampiriku.
"Yah, kok kamu disini? kakak mana? Terus gimana hasilnya?" Aku borong pertanyaan kepada suamiku karena penasaran.
"Kakak positif DBD, Yank" jawab suamiku singkat.
"Astagfirullah, kenapa bisa barengan begini sih" gumamku dalam hati.
"Lalu kakaknya dimana sekarang?" tanyaku.
"Itu dikamar sebelah" jawab Suamiku, sambil menunjuk ke kamar Athifa dirawat, yang kebetulan tidak jauh dari ruang rawat Kirani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahluk Hitam Itu Menyukai Putriku
Mystery / ThrillerIni adalah cerita tentang putri kecilku bernama Kirani, yang disukai oleh Mahluk tak kasat mata, berbulu hitam dan bermata merah, atau sering disebut Gandaruwo. Sejak usia 5 bulan putriku mulai jatuh sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit. Keterbata...