9

2.8K 492 8
                                        

Felix semakin mempercepat langkah kakinya berlari di koridor rumah sakit. Peluh diwajahnya tak ia perdulikan. Yang Felix pikirkan saat ini adalah terus berlari agar sampai ditempat yang pacarnya beritahukan padanya tadi ditelefon.

Jantung Felix seakan terasa berhenti berdetak saat mendengar suara bergetar Guanlin yang bicara di ponselnya. Bahkan Felix meninggalkan kelas terakhirnya tanpa bicara apapun pada Daehwi.

Bahkan Felix sampai lupa tak membawa laptopnya yang ia bawa tadi untuk mengerjakan tugas makalah minggu depan. Toh, ada Daehwi. Ia tak khawatir lagi. Daehwi pasti akan menjaga laptop Felix.

"Guan!" Felix menghentikan langkahnya saat ia sudah berdiri disamping pacarnya yang duduk setengah membungkuk.

Guanlin mendongakkan kepalanya menatap Felix. Felix bisa melihat wajah khawatir Guanlin yang tak bisa disembunyikannya sama sekali.

"Kamu bolos?" Ucap Guanlin.

Ia sudah melarang pacarnya bolos tadi. Ia menyuruh Felix untuk datang setelah kelasnya selesai, bukan meminta pacarnya untuk bolos. Guanlin jadi tambah merasa tambah bersalah.

Felix tak menjawab. Ia lebih memilih menarik kepala Guanlin hingga bersandar di perut ratanya. Tangan kananya memeluk pundak Guanlin sementara tangan kirinya menahan kepala Guanlin agar tetap bersandar pada kepalanya.

"Lix_" Guanlin mencoba menarik tangan Felix yang melingkar pada pundaknya.

"Tetep gini! Aku tau kamu butuh sandaran saat ini. Kalo kamu mau nangis, nangis aja. Aku nggak akan lihat. Semua orang juga nggak bakal lihat. Aku tutupin kamu" Felix mengeratkan lagi pelukannya di pundak Guanlin.

Nyaman. Itu yang Guanlin rasakan. Hingga ia tak sadar matanya kini telah basah. Bahkan bahunya kini juga ikut bergetar menahan isaknya sendiri. Ia tak mau terlihat konyol, menangis didepan umum seperti ini. Walaupun ada Felix yang menutupinya. Guanlin tetap tak mau.

"Harusnya aku yang kena ledakannya. Bukan Mama" ucap Guanlin dengan suara bergetar.

Felix menepuk lembut pundak Guanlin. Hatinya juga terasa ngilu. Felix juga merasa khawatir pada Luhan yang kini masih ditangani oleh pihak medis setelah terkena ledakan tabung gas di cafe mereka.

"Harusnya aku yang ada didalam, Lix. Bukan Mama" Guanlin memeluk punggang Felix dengan erat untuk melampiaskan rasa marahnya pada diri sendiri.

Felix tetap diam. Ia menunggu apa yang ingin Guanlin ungkapkan tanpa menginstrupsi sedikitpun. Ia tau, saat ini Guanlin butuh didengarkan, bukan dihibur.

"Kalau aja aku yang angkat tekonya, pasti Mama baik-baik aja sekarang. Aku nggak berguna banget ya, Lix?" Suara Guanlin semakin mengecil diiringi suara isaknya yang mulai terdengar. Bahu Guanlin juga semakin bergetar turun-naik.

Felix menyapukan buku jarinya pada rambut Guanlin yang terasa basah. Felix bahkan baru sadar jika baju Guanlin berantakan. Ada sobek di lengan sebelah kanannya dengan ukuran lumayan lebar. Bajunya juga terasa basah dengan noda coklat yang Felix perkirakan adalah bekas noda terbakar.

Mata Felix ikut memanas melihat kondisi pacaranya yang berantakan. Ia belum pernah melihat Guanlin sekacau ini selama mereka pacaran.

Felix juga tak bisa menyembunyikan fakta jika ia juga sama khawatirnya dengan Guanlin pada kondisi Luhan. Tapi untuk saat ini, biarkan Guanlin yang menumpukan beban padanya. Ia tak mau menambahi beban Guanlin dengan menangis.

"Mama nggak bakal kenapa-kenapa, Guan. Mama bakal baik-baik aja. Di dalem, ada dokter yang handal buat nanganin Mama" hibur Felix.

Guanlin mengeratlan rangkulan tamgannya dipinggang Felix  untuk mencari ketenangan. Hatinya bergemuruh sedih melihat kondosi Mamanya tadi.

Felix menepuk punggung Guanlin tanpa berkata apapun lagi. Ia hanya terus tetap berdiri dengan kepala Guanlin yang bertumpu pada perutnya.

Felix tau, Guanlin memang cuek cenderung jutek padanya juga oramg-oramg yang tak dikenal Guanlin. Tapi dibalik sikap cueknya, Guanlin tetap saja anak yang sangat menyayangi kedua orang tuanya dan tak mau kedua orang terpenting dalam hidupnya itu terluka. Apa lagi karena dirinya. Makanya, Guanlin selalu memperlakukan kedua orang tuanya sebaik mungkin.

Cklek!

Felix dan Guanlin sama-sama mendekat ke arah pintu yang baru saja dibuka oleh dokter yang menangami Luhan. Dokter itu membuka maskernya lalu tersenyum pada Guanlin.

"Nyonya Luhan sudah melewati masa kritisnya dan sudah sadar. Kami kana memindahkan nyonya Luhan ke ruang rawat" Dokter itu menepuk pundak Guanlin sebelum keluar ruangan diikuti seorang perawat.

Guanlin bernafas lega. Air matanya kbali menetes. Tapi kali ini bukan air mata sedih. Tapi air mata haru karena Mama nya berhasil melewati masa kritisnya.

Felix menyusupkan tangannya di genggaman tangan Guanlin untuk menenangkan kekasihnya.

"Sana, masuk!" Suruh Felix dengan senyum lembutnya.

"Kamu?" Tanya Guanlin.

"Kalian butuh waktu berdua. Aku tunggu disini dulu sambil nunggu Papa, ya. Biar Papa nanti nggak kebingungan nyarinya. Udah, sana masuk temenin Mama!" Felix mendorong lembut punggung Guanlin.

Guanlin mengusap kedua mata basahnya kemudian menyempatkan diri mendaratkan kecupan singkatnya di kening Felix sebagai tanda rasa terimakasihnya sebelum akhirnya masuk ke ruang ICU menemui Mamanya.

***
**
*
*TBC*

Q: Sen, kok up part ini sih? Kan kita masih sedih..

A: Aku up part ini karna pengen kita sama-sama semangat. Sedih boleh kok. Boleh banget. Tapi ayo semangat lagi habis ini buat dukung mereka ber 11. Mereka nggak akan pisah mau bagaimana pun keadaannya. Dan ayo, kita tetep dukung mereka bagaimana pun cara yang kita bisa :) .

Senaorin ❤

THE LITTLE THINGS {END🍬}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang