Tok! tok! tok!
“Mbok Min ... tolong bukain pintunya,” teriak Aqim dari ruang tengah.
Sudah 40 menit Aqim dan Tara menunggu kedatangan Mayra. Tara awalnya ingin pulang, tapi Aqim mencegahnya. Pada akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga.
“Tara, Aqim ... maaf ya gue telat. Tadi gue ada urusan mendadak.”
“Tch, banyak alasan,” cibir Tara.
“Udah lah, Dra. Sekarang Mayra udah di depan kita. Mending kita langsung mulai aja.”
Mayra langsung duduk di depan Tara, sedangkan Aqim pergi untuk mengambil minuman dan cemilan. Mayra melihat di sekitarnya. Terdapat TV 40 inci di depan meja yang berbentuk oval. Karpet berwarna biru muda dan sofa empuk berwarna senada. Di sebelah kanan meja TV terdapat lemari yang berisi foto-foto keluarga Aqim dan sisi kirinya ada vas bunga yang berukuran sedang. Tara tengah asyik memainkan ponselnya. Ia terlalu malas untuk memulai pembicaraan. Apalagi yang di hadapannya sekarang ini adalah gadis yang sangat dibencinya.
“Nih minumannya. Latte untuk Hendra, coklat panas untuk Mayra.”
“Kok beda?” tanya Tara.
“Ya iyalah. Masa iya gue ngasi kopi buat dia, dia 'kan gak bisa minum kopi."
Mayra tertegun mendengarnya. 'Dia tau darimana kalo gue gak bisa minum kopi?' Mayra memang tidak bisa minum kopi. Jika ia meminumnya, ia akan muntah-muntah. Tapi sudahlah, Mayra pikir itu semua hanya kebetulan semata.
2 jam kemudian ...
“Ah, akhirnya selesai juga. Makasih udah bantuin gue ya Ra, Qim.”
Mereka bisa cepat selesai karena mereka sangat bersungguh-sungguh mengerjakannya. Bahkan Mayra sangat berkonsentrasi dalam menjawab soal. Tidak seperti biasanya, kali ini Mayra fokus kepada soal, bukan kepada wajah pangerannya. Hal itu membuat Tara sedikit bingung. Bukan berarti mengharapkan Mayra untuk melihatnya, tapi tidak biasanya gadis itu tidak memandangi wajahnya. Bahkan jika dilihat-lihat, wajah indah itu tampak lelah dengan mata yang terlihat sayu. Sebenarnya apa yang terjadi? Tapi Tara enggan untuk bertanya. Tentu saja itu bukanlah hal yang penting baginya.
“Gue pulang dulu ya. Makasih bantuannya,” ujar Mayra dengan senyum yang merekah di bibirnya.
“Eh Dra, anterin dong si Mayra. Ini udah malem tau. Masa iya lo tega-teganya biarin dia pulang sendiri. Kalau ada apa-apa, gimana?”
“Lo cerewet banget sih Qim. Lo aja yang nganterin dia. Lo 'kan suka sama Mayra.”
'Huasem si Hendra. Tau aja kalau gue mau nganterin Mayra. Memang teman terbaik gue deh.'
Mayra yang mendengar perkataan Tara pun sedikit kikuk. 'Aqim suka sama gue? Sejak kapan? Mungkin becanda doang. Lagian hati gue hanya untuk Tara seorang.'
“Eh gak usah repot. Gue udah biasa balik malam.”
“Udah biasa? Tch ... dasar cewek gak bener.”
“Huss ... mulut lo, Dra. Tajam banget kayak pisau cukur ketiak.” Aqim berhasil membuat Tara melotot padanya.
“Gak ngerepotin kok, May. Lagian kalau lo pulang sendirian, gue gak tenang. Kalau gitu gue anterin, ya?” kata Aqim yang sebenarnya sangat perhatian, namun sayang Mayra tidak menyadari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Pernah Berpaling (SUDAH TERBIT)
Ficção AdolescenteSUDAH TERBIT Kita memang mudah untuk jatuh cinta, tapi untuk menyatukan dua perasaan bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Begitu pula pada Mayra Cassandra yang terlanjur jatuh cinta pada lelaki bernama Mahendra Regantara. Nahasnya, selama tiga tah...