“Tara?” Mayra memandang lekat lelaki yang berdiri tak jauh dari tmepat duduknya.
“Gue ngasih tahu dia kalau kita di sini,” ujar Aqim yang melakukan semuanya tanpa mempedulikan hatinya yang terluka.
“Gue pergi dulu, lo diantar Hendra.” Ia langsung beranjak meninggalkan dua orang yang saling menatap itu. Ia menepuk bahu sahabatnya sekaligus berkata, “Jaga dia.” Anggukan lalu diterima.
“Lo gak kenapa-kenapa?” ucapnya seraya duduk di tempat Aqim tadi.
“Gpp. Lo kenapa ke sini?”
“Menurut lo kenapa?” ucapnya sembari membetulkan jas yang melekat pada Mayra.
“Khawatir? Tapi gak mungkin.” Mayra tersenyum namun tatapan sendu itu tetap terlihat oleh Tara.
“Kenapa gak mungkin? Apa lo udah kehilangan kepercayaan diri?”
“Apaan sih? Kok jadi melow gini? Gue pulang aja.” Mood-nya sedang tidak baik untuk membicarakan hal mengenai kepercayaan dirinya. Ia pun beranjak dari tempat duduknya dan disusul oleh Tara.
“Gue antar pulang.”
*♡*
Tepat pukul 10 malam, mereka sampai di kediaman Mayra. Mungkin ayahnya sudah tidur, jadi tidak apa-apa untuk Tara mengantarnya hingga di depan pintu utama.
“Makasih ya, hush sana pulang,” usirnya dengan menggerakkan kedua tangan untuk mendorong Tara.
“Lo ngusir gue?” protes Tara yang kebaikannya dibalas dengan usiran kejam.
“Lo lupa ini udah jam berapa? Lo gak mau jauh-jauh dari gue ya? Tenang aja Ra, besok gue lengket ama lo 8 jam dari pagi sampai pulang sekolah.”
Ah sifat percaya diri itu sudah kembali dan Tara tak mau mendengar ocehan kepedean itu lebih lama lagi, ia pun memutuskan untuk pulang.
Mayra menahan tawanya melihat Tara yang dengan terburu-buru untuk pulang. Ia segera muntup pintu dan bersiap-siap untuk tidur. Namun, tak terduga olehnya sang papa sudah berdiri tak jauh darinya sembari mengepalkan kedua tangannya.
“Dari mana saja kau, hah? Kelakuanmu sama saja seperti ibumu itu. Sama-sama wanita yang tidak tahu diri. Apa kau baru pulang dari bersenang-senang? Berapa uang yang kau dapatkan malam ini?” seru Adi setelah melihat pakaian yang dikenakan Mayra. Tak lupa jas Aqim yang masih tersampir.
Mayra menggeram marah. “Apa maksud Papa? Jangan pernah menghina mama seperti itu. Dan jangan menilai Mayra sembarangan.” Tak apa jika ia dihina. Tapi apa salah ibunya hingga dikatakan serendah itu oleh suaminya sendiri.
“Kau sudah berani kepadaku? Bagus, setidaknya kau tak selemah perempuan itu yang selalu merengek dan kadang seperti orang bisu.” Ia menghampiri sang anak dan menjambak kuat rambut anaknya.
“Melihatmu hanya mengingatkanku padanya. Tak bisakah kau musnah saja?” Ia mendorong kuat Mayra hingga kepalanya terbentur ke lantai.
“Papa selalu emosi, tapi Papa tak tau apapun tentang perasaan mama,” ucap Mayra yang berusaha untuk berdiri.
“Kau bilang aku tidak tahu apapun?” teriaknya sembari mencengkram erat rahang Mayra.
“Aku berharap untuk tidak tahu apapun tentang ibumu itu, tapi malah sebaliknya. Aku benar-benar sangat mengenalnya hingga aku menjadi orang yang kau lihat sekarang ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Pernah Berpaling (SUDAH TERBIT)
Fiksi RemajaSUDAH TERBIT Kita memang mudah untuk jatuh cinta, tapi untuk menyatukan dua perasaan bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Begitu pula pada Mayra Cassandra yang terlanjur jatuh cinta pada lelaki bernama Mahendra Regantara. Nahasnya, selama tiga tah...