Akhirnya hari ini tiba. Hari yang dinantikan oleh Lily, hari dimana sang buah hati merasakan getaran menggelitik di hatinya. Ia sangat bersemangat dan senang, seperti apa sosok yang telah membuat Tara yang tak kuasa menahan rasanya seperti ini.
“Aaaaaaa ...” teriak riang sang bunda.
“Aduh mama apaan sih? Kok malah teriak? Ini Tara Ma, bukan maling,” Gerutu Tara sembari menutup telinganya.
“Aduh Hendra. Kamu tuh ya, pinter sih pinter. Tapi kok masalah kayak gini aja kamu gak tau?”
“APA MA?” teriak Tara.
“Ih kamu tuh ya. Telinganya jangan ditutup dong, Dra.” Lily merasa kesal dengan anaknya yang kelewat pintar ini.
“Hm ... Mama mau nanya dulu sama kamu. Kamu punya bola basket hadiah ulang tahun kamu yang ketujuh ‘kan?”
“Iya, masih ada di bawah kasur kamar Tara kok ,Ma. Jadi apa hubungannya sama bola basket?”
“Jangan tanya balik. Kamu cuma boleh jawab!” Lily menyentil kening Tara pelan.
“Dulu kamu pernah marah sama sepupu kamu karena dia suka mainin bola basket kamu ‘kan? Nah, sekarang Mama mau nanya. Kok kamu bisa marah gitu sih sama dia? ‘Kan itu cuma bola basket biasa dan dia cuma pinjam, bukan minta bola kamu,” tanya Lily panjang lebar.
“Ya tentu Tara marah, Ma. Itu bola yang spesial bagi Tara. Mama juga tau kalau Tara gak suka barang-barang yang Tara sayang di pegang-pegang gitu.” Tara kembali emosi mengingat kejadian bola basket waktu itu.
“Nah itu dia. Begitu juga perasaanmu dengan gadis itu. Menurut Mama, kamu udah anggap dia seseorang yang spesial. Tapi kamu juga tidak peduli sama dia, ibaratnya seperti bola basket yang kamu letakkan di bawah kasur. Meski kamu gak peduli sama dia dan letakin dia di bawah kasur, tapi kamu gak suka dia dipegang sama orang lain. Walaupun itu sahabatmu sendiri.”
Mulut Tara terasa terkunci. Ia sibuk memikirkan ucapan mamanya barusan. Benarkah dia menganggap Mayra merupakan seseorang yang spesial dihidupnya? Rasanya tak mungkin.
“Kalau kamu masih bingung dengan perasaan kamu, Mama mau kamu bawa dia ke sini. Mama pengen lihat dia orangnya seperti apa. Pasti menggemaskan.” Perintah Lily dengan nada riang.
“Tapi Ma—”
“Gak ada tapi-tapian. Besok bawa ke sini.”
Ya seperti itulah sesi curhat anak kepada ibunya.
*♡*
Matahari bersinar cerah di pagi ini. Mayra dengan lesu berjalan pelan di pelantaran sekolah menuju ke kelasnya. Bukannya dia malas untuk bersekolah, tentu saja dia sangat suka sekolah karena ada Tara di sana. Tapi karena luka-luka yang menyakitkan di badannya. Belum lagi tanda merah yang masih ada di pipinya.
Jaket hitam itu membalut tubuh Mayra dengan indahnya. Ya, lagi-lagi dia memakai jaket di area sekolah. Karena apa? Jawaban yang tepat adalah luka. Ini semua demi menutupi luka-luka lama di badannya yang masih menyisakan bekas. Ia tak mau mengambil risiko untuk menunjukkan luka itu di khalayak ramai. Bisa saja ayahnya murka dan semakin benci padanya. Itu tak boleh terjadi.
Mayra menunduk tidak berani memandang sombong seperti biasanya. Rasa takut menyelimuti Mayra, kalut dengan orang-orang disekitarnya jika menyadari bekas tamparan di pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Pernah Berpaling (SUDAH TERBIT)
Teen FictionSUDAH TERBIT Kita memang mudah untuk jatuh cinta, tapi untuk menyatukan dua perasaan bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Begitu pula pada Mayra Cassandra yang terlanjur jatuh cinta pada lelaki bernama Mahendra Regantara. Nahasnya, selama tiga tah...