Selamat pagi, Tuan tak bertuan.
Bisakah kau tak senyum pagi ini?
Hangat senyummu mengalahkan sang mentari
Hingga ia malu untuk menampakan sinarnya pagi iniSelamat pagi, Tuan tak bertuan.
Bisakah kau tak menatap bunga itu terlalu dekat?
Bunga itu terlalu tersipu malu melihat kedua bola matamu yang terlanjur indah
Hingga ia tak berani memanggil lebah yang setiap hari memeluknya mesraWahai Tuan tak bertuan, aku masih bertanya-tanya apakah kau benar-benar nyata?
Wahai Tuan tak bertuan, tak berniatkah engkau melihat wanita muda sederhana tak berparas bak purnama yang selalu mendoakanmu di tengah malam sambil berharap kau tuk tetap bahagia?
Wahai Tuan tak bertuan, tidakkah kau bertanya siapakah perempuan muda itu?
Wahai Tuan tak bertuan, kuharap kau tetap suka cita menyambut pagi ataupun senja yang selalu menyapamu dengan penuh canda ria dan tak pernah ingin kau terluka
Diriku yang hanya dapat melihatmu dari jauh ini hanya berani menamai diri sendiri sebagai perempuan muda tak berparas purnama yang memang tak pernah pantas untuk mendapat cinta yang terbalas—Apalagi berharap cinta darimu yang terlalu sempurna untuk menjadi nyata.
Tuan tak bertuan maaf bila aku sedikit lancang kali ini, jadi bolehkah aku tetap berharap tentang dirimu? Meski aku tahu sebesar apapun usaha dan keinginanku, aku takkan pernah bisa menggapaimu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak.
PoésieIni hanyalah rangkaian kata yang terbuat dari realita. Tak ada fiksi, yang ada hanyalah pengandaian untuk memberikan jiwa disetiap bait-baitnya.