Budayakan vote dan komen ketika membaca cerita
-----
"Mungkin aku hanya ingin kamu tahu, aku juga punya rasa itu.."
-----
Hening sepanjang jalan sejak mobil meninggalkan kawasan desa. Damian benar-benar menahan diri. Sejak keberangkatannya menuju lokasi di mana Sania mengikuti live in, perasaannya sudah tidak baik.
Keheningan ini membuat Sania semakin merasa canggung. Duduknya tidak nyaman sedari tadi. Bahkan dari tempatnya duduk, Sania bisa melihat tangan Damian yang menggenggam kemudi mengencang. Tubuhnya tidak bisa dikomando hingga tanpa sadar menggigil, ketakutan dengan kemarahan yang semula ia kira sudah padam.
Damian tidak buta untuk tahu kalau Sania sedang merasa ketakutan. Pikirannya berkecambuk, informasi yang ia dapat sebelum mereka meninggalkan desa membuat emosi Damian yang semula mereda kembali terpancing. Memilih membiarkan, Damian menginjak pedal gas semakin dalam. Dia harus segera sampai rumah sebelum amarah membuat keadaan semakin tidak terkendali.
-----
Pintu mobil itu setengah di banting. Membuat Sania terlonjak dari tempat duduk. Damian keluar, tanpa menoleh atau membukakan pintu untuknya. Sania memandang sedih punggung tegap itu hingga menghilang di balik pintu depan.
"Daddy."
Sania berujar lirih, setengah berlari untuk menyamai langkah kaki Damian. Melihat Damian yang diam, entah mengapa sangat menakutkan.
"Bersihkan dirimu dari bekas anak laki-laki itu. Ganti baju dan lekas tidur."
Kalimat itu diucapkan dengan dingin. Setelahnya Damian meninggalkan Sania yang sudah berkaca-kaca menahan tangis.
"Di kamar daddy, Sania."
Kemudian pintu ruang kerja itu tertutup. Menyisakan Sania seorang diri di depan pintu kayu yang tertutup rapat.
-----
Damian mendesah. Menegak minuman pahit yang sama sekali tidak membantu meredakan amarahnya. Dia merasa bodoh dengan apa yang baru saja ia lakukan. Sekali lagi Damian memasukan minuman pahit itu ke tenggorokannya. Bagaimana dia bisa lepas kendali di depan gadisnya membuat Damian kembali merutuki dirinya sendiri.
Dalam hidupnya, menyakiti Sania tidak pernah menjadi tujuan hidup Damian. Bahkan sejak tangis pertama gadis itu. Damian berjanji hanya akan memberikan kebahagiaan baginya. Tangan Damian yang bebas memijit pangkal hidung. Laporan yang dibawa oleh Rio siang tadi adalah sumbunya. Selama ini, Damian cenderung tidak peduli namun mengetahui apa yang kali ini dilakukan wanita itu membuat Damian harus bertindak cepat.
Setelah menekan beberapa angka di layar ponselnya, Damian mendekatkan benda persegi itu di telinga. Butuh beberapa menit hingga panggilan itu tersambung.
"Halo."
Suara serak khas orang bangun tidur terdengar.
"Aku butuh bantuan."
"Seriously? Damian?"
Damian mendengarkan suara berderak sebelum suara di seberang kembali terdengar.
"Kau menghubungiku malam-malam, meminta pertolonganku, jangan bilang ada sesuatu dengan gadismu."
Damian mengangkat sudut bibirnya.
"Apa yang bisa kubantu?"
Merasa beruntung memiliki seorang sahabat seperti Dean.
-----
Setelah selesai menghubungi Dean, Damian kembali ke kamar. Menutup pintu secara perlahan dan berbalik untuk menemukan punggung rapuh di tengah tempat tidurnya. Punggung itu bergerak teratur sesuai tarikan nafas si pemilik. Pandangan Damian kembali melembut, perasaan menyesal kembali menyerang saat memperhatikan sosok rapuh yang sudah terlelap di atas ranjangnya.
Begitu merasa lebih tenang, Damian bergegas berganti pakaian. Setengah mengendap menaiki tempat tidur, takut gerakan kecilnya bisa membangunkan gadis itu dari mimpinya. Lengan Damian terjulur, membawa Sania mendekat.
"Maafkan daddy, sayang."
Lirih Damian sembari mengusap rambut panjang Sania. Gadis itu menggeliat di dalam tidurnya namun tidak membuka mata. Mungkin kelelahan. Memejamkan mata, Damian menenggelamkan wajahnya di kelembutan rambut gadisnya. Menghirup sebanyak-banyaknya aroma yang sudah dirindukannya.
-----
"Dia masih berada di Paris?"
Kalimat itu bukan pertanyaan. Damian tengah menegak cairan hitam pekat dari cangkir yang masih menguarkan uap panas. Rio berdiri di sebelahnya, mengangguk menanggapi. Pria itu menunggu instruksi berikutnya ketika dari tangga terdengar langkah kaki mendekat ke ruang makan.
"Kamu bisa pergi."
Bertepatan dengan itu, Sania melangkah masuk ke ruang makan. Tersenyum canggung sebelum mengambil duduk di bangku sebelah Damian. Walau sekali lihat, Damian tahu kalau Sania masih merasa takut padanya. Pagi ini dia sengaja bangun lebih awal agar tidak membuat Sania kesulitan bersikap saat menemukan mereka berada di tempat yang sama.
Saat ini Sania mengenakan kaus lengan pendek berwarna biru dan celana pendek putih. Rambutnya dibiarkan tergerai karena masih tampak lembab setelah keramas. Tidak ada kegiatan di sekolah mengingat hari ini masih dalam rangka live in yang dibatalkan Damian. Mengingat acara itu, Damian sudah memerintahkan anak buahnya untuk menghilangkan agenda sekolah itu dan menggantinya dengan tugas belajar di rumah.
"Ada apa, daddy?"
Suara lembut mengembalikan kesadaran Damian. Pria itu menggeleng.
"Tidak ada, sayang."
Damian berkedip. Sania melirik dari tempatnya duduk dengan menggigit garpu yang digunakan untuk makan. Melihat betapa manis gadisnya itu saat ini, membuat Damian sebenarnya enggan mengangkat topik ini, namun bagaimana juga, cepat atau lambat. Sekarang atau nanti. Dari dirinya atau dari orang lain. Oke, untuk yang satu itu Damian mengerutkan kening tidak suka. Dia tidak ingin gadisnya tahu dari orang lain.
"Sayang."
Damian mencoba bicara perlahan. Menghentikan gerakan Sania yang sedang memasukkan sepotong roti ke dalam mulut mungilnya.
"Ya, daddy?"
Dahi Sania berkerut lucu karena mencoba menebak apa yang akan mereka bicarakan, membuat Damian gemas ingin mengulurkan tangan demi menghapus kerutan di sana.
"Ada yang harus daddy sampaikan."
"Tentang?"
Sania penasaran. Sikap Damian yang terlalu hati-hati membuat sisi hatinya merasa was-was. Tidak biasanya Damian bersikap seperti ini. Pria itu terkenal sebagai pribadi yang tegas dalam melakukan apapun. Tidak ada yang membuat Damian ragu dalam mengambil setiap keputusan. Dan melihat ayahnya yang bersikap berbeda dari biasanya, setelah semalam tentu saja, membuat Sania meningkatkan kewaspadaan beberapa kali lipat.
"Daddy dan ibumu."
Jeda sejenak membuat debaran semakin menyakitkan bagi Sania.
"Kami akan segera berpisah, sayang."
Benar. Cukup malam yang tidak biasa dan pagi hari yang mengejutkan untuk ucapan selamat pagi yang menyambut Sania hari ini.
-----
Vote dan komen
P.s. baca cerita yang lain juga update setiap senin, rabu, jumat, miggu
KAMU SEDANG MEMBACA
Damian's Love
RomantikBudayakan follow sebelum membaca. Cerita kolaborasi, cerita awal oleh akun @pussy_berry a.k.a @fana_merah_jambu a.k.a @eleutheria_mo (doi suka ganti-ganti nama akun) yang akan diselesaikan di akun ini. Cerita ini tidak plagiat, mencuri, meniru, meni...