[15] Separate.

3K 485 33
                                    


***

Ali memijat pelipisnya dengan lemas. Sudah tiga hari Prilly tidak masuk sekolah. Ia belum berani mendatangi Prilly ke rumahnya, takut kalau gadis itu akan semakin marah padanya.

Tapi.... kalau Prilly tidak ada kabar begini, Ali tidak bisa sabar menunggu.

"Santai," Vino menepuk bahu Ali, seraya menawarkan kopi padanya, "Ini pertama kali nya, lo bebas mampir ke sini."

Reza mengangguk antusias, sambil menghisap rokok nya dalam-dalam. "Tenang Li, kalo begini nggak bakal ada yang bikin lo panik."

"Justru kalo begini, gue malah panik!"

"Tapi, lo juga butuh waktu ngobrol sama temen. Gak melulu sama cewek yang cuma punya tangan itu."

Setelah kata-kata santai namun pedas itu di ucapkan, terdengar benturan keras di lantai. Vino mengangkat kedua tangan nya menyerah, di iringi darah yang mengalir di pelipis nya. "Oke, cewek itu istimewa di mata lo."

Ali menghembuskan nafas nya kasar, kembali duduk di kursi kayu itu dengan marah. Reza yang berada di sebelah cowok itu hanya tertawa kecil. "Paling cewek itu lagi liburan sama keluarga nya."

"Tanpa kabar begini?!" Ali menatap Reza dengan tajam. Keluarga katanya? batinnya mendesis marah.

"Don't mind, Li!" Reza tertawa tanpa merasa bersalah. "Lagian, kalian udah putus. Lo siapa ngarep dikabarin sama dia?"

Ali menarik kerah baju Reza, bersiap-siap melayangkan pukulan pada temannya. "Sorry deh, jangan pukul gue dong!"

Vino menghembuskan nafasnya sebal, lalu berucap dengan tidak ikhlas. "Kalo lo panik, cari Li! Malah duduk di sini."

"Terserah siapa, huh?!"

Vino mengepalkan tangannya, "Kalo gitu, jangan ngeluh!"

Reza tertawa lagi, "btw, kabar Ryan gimana?"

"Nggak tau," Ali menatap langit yang sedikit mendung. Kira-kira.... Prilly-nya sedang apa sekarang?

Ah, apa masih pantas Ali menyebut cewek itu dengan embel-embel 'nya'?

"NAH!" Vino menggebrak meja kayu di depan nya, membuat Reza dan Ali terkejut. "Kenapa, sih?" tanya Ali sensi.

"JANGAN-JANGAN CEWEK ITU NYAMPERIN RYAN LAGI!"

"Jangan sembarangan kalo ngomong! Mau gue hantam lagi mulut lo?" Ali menunjukkan kepalan tangan nya ke hadapan wajah Vino.

Vino menggeleng sambil menunjukkan cengirannya. "Cuma beranggapan aja, Li. Kali aja bener,"

"Jangan pernah beranggapan yang jelek-jelek tentang cewek gue!"

"Tapi, nih ya-," Reza berhenti tertawa, mimik nya berubah serius. "Jangan terlalu percaya sama cewek. Kalo lo di bohongin, gimana?"

"Dia nggak pernah bohongin gue." desis Ali.

"Oh, ya? Gimana kalo kita buktiin," Vino tersenyum miring. "Kalo sampe anggapan gue bener, gue mau lo putusin cewek itu di depan gue."

Ali melotot tak terima.

"Gue muak sama cewek itu, Li." Ucap Vino berterus-terang. "Semenjak pacaran sama dia, lo nggak pernah ngumpul sama kita lagi!"

"Maka nya cari cewek." celetuk Reza, lalu ia tertawa saat sadar sudah menyenggol topik sensitif tentang Vino.

"Nggak. Kalaupun syarat di akuin keluarga gue itu harus ada cewek, gue lebih milih gak pernah di akuin sampe mati!" Vino memainkan asbak di dekat nya. Tatapan nya berubah datar. "Jangan terlalu percaya sama cewek."

Ali berdiri, kemudian meraih kunci motor nya. "Gue mau cari cewek gue." putusnya.

"Kalo anggapan gue bener, putusin dia di depan mata gue, Li!" Vino berteriak, saat melihat Ali mulai menjauh.

***

Ali mengusap wajah nya gusar. Di tatap nya pintu rumah Prilly yang tertutup rapat, lalu mengetuk nya tiga kali. Pintu itu terbuka. Tapi bukan Prilly yang Ali lihat.

Sosok pria dengan pakaian berantakan menatap Ali dengan sinis. "Siapa kamu?"

"Ini orang tua Prilly?"

"Ya, kamu siapa?" tatapan pria itu menajam.

"Ada Prilly?"

Lelaki di depan Ali tersenyum masam. "Kamu siapa? Ngapain cari-cari Prilly, huh?"

"Dimana Prilly?"

"Saya gak akan biarkan anak nggak jelas seperti kamu, bertemu sama anak saya yang juga nggak jelas." Ayah Prilly bersedekap dada. "Bisa-bisa, tambah cacat nanti dia."

Ali mengepalkan tangan nya. "Tolong tanya sama diri anda sendiri, sudah jelas atau belum?"

"Jangan dekati Prilly!"

"Anda kemana saja? Sudah lama saya dekat dengan Prilly." Ali tersenyum miring. "Banyak hal yang kita lewatin sama-sama."

"JANGAN DEKATI PRILLY!!!"

Ali beranjak meninggalkan pria yang sialnya Ayah Prilly-nya, menyalakan motor nya, kemudian pergi.

Mengabaikan semua caci maki pria tukang mabuk itu, yang sialnya sekali lagi adalah Ayah Prilly. Perempuan yang ia sayang.

Ngomong-ngomong, Ali jadi teringat ucapan Vino tadi.

"JANGAN-JANGAN CEWEK ITU NYAMPERIN RYAN LAGI!"

"Vino sinting," Ali menggeleng pelan, namun cowok itu malah melajukan motor nya ke rumah sakit tempat Ryan di rawat.

Di tempat lain, Vino tersedak kopi yang baru diminum nya. "Aduh, kayaknya ada yang lagi maki-maki gue,"

Gue berani bertaruh, kalau sampe Prilly ada di sana jagain si Ryan, gue bakalan putusin cewek itu.

Ali tersenyum lebar, sambil terus menaikan kecepatan motor nya.

Dan, gak mungkin juga Prilly kayak gitu, kan? Dia cewek baik.

Ali turun dari motor, berjalan menuju resepsionis untuk menanyakan di kamar mana Ryan di rawat, lalu berjalan ke sana dengan cepat.

Ali terlalu yakin, terlalu bersemangat, dan terlalu..... percaya~

Nyata nya, belum sampai di kamar rawat Ryan saja, Ali sudah melihat kenyataan.

Prilly sedang menyuapi Ryan di taman. Dengan Ryan yang duduk di kursi roda, dan Prilly yang terlihat kepayahan saat berlutut untuk menyodorkan bubur pada cowok itu.

Ali tersenyum culas, saat mendapat tatapan kaget dari Prilly.

Cowok itu menghampiri kedua nya. Atensi nya beralih pada Ryan yang masih terlihat lemas. "Tangan lo nggak patah, tapi kenapa harus dibantu makan, ya?" tanya Ali prihatin. "atau mau gue bikin patah juga?"

"Ali, jangan macam-macam!" seru Prilly waspada.

Ali menatap Prilly, dengan senyum lemas. "Prill," kepalan tangan nya melemah. "kita.... putus,"

***

Tolong baca a/n aku ya!

Akun ini sekarang bukan dipegang oleh Jay lagi. Kenalin nama ku Liyan. Untuk yg bertanya kenapa Jay nggak megang akun ini lagi, that's not ur business. Okay?

Jangan lupa vote, dan berkomentar yg baik ya? Terimakasih.

Love You, Nerd! (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang