01 ─ Rain

6.2K 544 86
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Malam sepi yang Yoora duga akan berjalan dengan baik nyatanya terjadi berbalik. Hujan deras mengguyur daratan sejak sore dan bahkan tak ada tanda-tanda akan berhenti. Awan putih kini menghiasi langit dengan rata, menutupi sinar jingga kala senja yang seharusnya sudah tiba.

Materi kuliah yang Yoora simpan dalam tas nyaris saja basah jika ia terlambat menepi. Akhir bulan memang sangat menyebalkan. Tak hanya uang sakunya yang sudah sangat menipis sehingga Yoora tak bisa terus-menerus naik bus dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga cuaca yang tak bersahabat.

Berada jauh dari jangkauan orang tua untuk pergi menempuh ilmu ternyata sangat sulit. Yoora rindu masakan ibunya serta suasana kehangatan keluarga saat makan malam tiba, bercengkerama saling bertukar pikiran dan melempar candaan.

Meskipun sudah satu setengah tahun Yoora menetap di pusat kota, nampaknya ia masih saja sering tersesat jika pergi ke lokasi yang jauh dari kampus. Buktinya sekarang gadis itu masih memikirkan bagaimana caranya pulang ke rumah dengan cepat tanpa basah kuyup. Jarak antara penginapannya dengan rumah temannya cukup jauh dan Yoora baru kali pertama berkunjung. Seharusnya dirinya menyetujui usulan untuk mengerjakan tugas presentasi di perpustakaan kampus siang tadi, tapi ia menolaknya dan bersikeras untuk mengerjakan di tempat lain.

Dan disinilah bukti nyata kesialan yang Yoora alami.

Kantong plastik hitam yang gadis itu pegang bahkan hanya cukup untuk tempat sepatu olahraga yang dibelinya setahun lalu. Tas punggungnya mulai basah setengah dan Yoora tidak tahu jalan pintas mana yang harus ia lalui agar lebih cepat sampai di rumah.

"Heotteok... Heotteok..."

"Odeng, 2500 won dapat 3... Odeng..."

"Beli dua gratis satu..."

"Ayo, ayo, dibeli..."

Gadis itu terlonjak saat melewati tikungan salah satu simpangan jalan dan menemukan puluhan orang tengah berdagang. Laki-laki dan perempuan semuanya menjadi satu, saling teriak menjajakan apa yang mereka jual. Hujan sama sekali tak mengurangi keramaian disini, justru puluhan orang semakin banyak berlalu lalang dengan jas hujan mereka dan singgah di kedai minuman hangat. Mereka saling tertawa dengan bahan pembicaraan masing-masing, serta tangan yang memegang cangkir berisi minuman yang mengepul.

Jadi ini yang dinamakan street food? Pikir Yoora. Memang, gadis itu seringkali melihat keramaian street food serta makanan yang dijajakan, akan tetapi hanya melalui saluran virtual. Entah karena Yoora sedang menghemat uang atau dia tipe gadis yang tak suka wisata kuliner, sehingga tak tahu-menahu eksistensi tempat seperti ini.

Tetesan air yang turun tak sederas beberapa menit lalu. Kaki telanjang Yoora terus menyusuri jalan, tak ada niatan untuk membeli apapun meskipun perutnya sudah sangat lapar karna hawa dingin yang mendera. Bunyi desisan memenuhi telinganya. Hal itu semakin membuat Yoora tak tahan, berbagai macam makanan yang ia sukai ada di sudut manapun.

Hiruk pikuk yang terjadi sama sekali tak mengusik Yoora.

Justru pemandangan sosok laki-laki yang termenung di kursi kedai tanpa sandaran menangkap perhatiannya.

Kedainya lebih sepi dibandingkan dengan kedai makanan lain. Hanya ada sepasang suami istri yang sudah berumur singgah dan kini tengah menikmati makanan mereka tanpa bicara. Bahkan si laki-laki kini sudah selesai dengan hidangannya yang sisa setengah, mengelap mulutnya lantas meminum seteguk teh melati yang terdapat di cangkir bening di hadapannya.

Ramyeon.

Pria yang termenung itu penjual ramyeon biasa dengan sebuah gerobak sederhana yang mulai usang─dimana catnya sudah mulai mengelupas di beberapa bagian. Dia terlihat sama sekali tak terusik dengan persaingan pedagang yang saling adu mulut demi mendapatkan pelanggan. Pria itu hanya diam di kursinya, berimajinasi akan sesuatu sambil menopang dagunya dengan telapak tangan kanan. Begitu tenang, jemarinya mengetuk pelan meja kayu yang ada di depannya secara berirama.

Tatapan di balik kaca mata bulat yang sedikit ternodai oleh titik-titik air yang memantul dari ujung mejanya begitu suram. Sesekali pria itu menatap langit malam yang gelap dilapisi awan kelabu, seakan-akan memintanya untuk menjadi temannya bercerita─meminta jawaban atas pertanyaan yang menghantui pikiran tak berujungnya.

Pria itu terlihat sedih.

Bukan.

Dia terlihat putus asa?

Yoora masih diliputi tanda tanya. Seberkas rasa penasaran sungguh menganggu niat gadis itu untuk segera pulang ke rumah sewaannya selama masa kuliah. Yoora semakin lekat menatap lekuk wajah pria penjual ramyeon, ekspresinya sangat datar namun menyiratkan makna yang dalam.

Atensi yang Yoora berikan begitu besar hingga tak sadar bahwa langkahnya sendiri semakin melambat dan celananya semakin basah. Kini pria itu tengah melepas kaca mata miliknya, mengusap kacanya pelan menggunakan handuk kusut yang mengalung di leher. Bibirnya mulai membiru dan sedikit bergetar.

Pria itu kedinginan.

Dan Yoora baru sadar bahwa pria itu hanya memakai atasan tipis dilapisi jaket kulit hitam yang warnanya mulai pudar. Bahkan topi putihnya sudah setengah basah terkena hujan.

Yoora berpikir sejenak, mengeluarkan dompet dan menghitung beberapa lembar won yang tersisa. Dari sekian banyak jajanan yang ada, entah kenapa ramyeon milik pria itu lebih menggungah selera. Padahal biasanya Yoora bisa menahan keinginannya untuk tak membeli makanan di luar─kecuali itu sangat terdesak.

"Permisi," ujar Yoora mengalihkan atensi pria penjual ramyeon dari rintik hujan. "Ramyeon satu mangkuk."

Manik mata pria itu beralih menatap Yoora lalu dengan sigap berdiri. Hanya anggukan yang Yoora dapat sebelum pria itu beranjak menuju gerobaknya untuk menyiapkan pesanan. Yoora sempat terhenyak memperhatikan bagaimana keadaan kedai ketika ia sudah duduk di sudut. Terlampau sederhana. Apa ini alasan yang menjadi berkurangnya minat pengunjung untuk kemari? Pasalnya dari yang Yoora lihat, kedai lainnya begitu menarik perhatian. Disana terdapat kelap-kelip lampu berbagai warna, pernak-pernik untuk menghias papan nama, dan bahkan ada juga yang memakai seragam dengan topi khas koki yang bertengger di kepala.

Yoora memperhatikan bagaimana pria itu bekerja di balik gerobaknya. Padahal pelayanan yang ia lakukan cukup cekatan. Gerakan tangannya lihai ketika ia meracik bumbu ramyeon dan menuangkan bahan utamanya ke dalam mangkuk. Hanya saja Yoora pikir pria itu tak terlalu banyak bicara.

Alunan musik dari radio usang yang terpasang di sudut ruangan benar-benar membuat Yoora tertegun. Musik yang diputar sungguh bukan selera anak jaman sekarang. Meskipun gadis itu tahu judul beberapa lagu ballad tahun 90-an yang kini tengah terputar, tapi tetap saja. Jika keadaannya seperti ini wajar jika pria itu tak memiliki banyak pembeli. Apalagi jika dikaitkan dalam hal pemasaran, pria itu jelas tak memenuhi kriteria seseorang yang pandai menjajakan dagangannya.

"Nona, selamat menikmati."

Pria itu bersuara serta membawa nampan dengan mangkuk hitam berisi pesanan. Ia menunduk lalu berlalu─kembali pada aktivitasnya memandangi langit gelap yang dihiasi hujan.

Yoora baru menyadari, itu kalimat yang pertama kali keluar dari mulut pria itu. Sepasang suami istri yang beberapa menit lalu singgah bahkan sudah pergi dari kedai dan membayar pesanan, dan lagi-lagi pria itu hanya tersenyum samar saat tangannya menerima beberapa lembar won.

Dan Yoora juga baru menyadari hal lain.

Bukan ramyeon yang membuatnya tertarik hingga ia mampir dan duduk di balik meja untuk menikmatinya.

Tapi pria penjual yang kini masih terpaku pada dunia pribadinya.



─── ••• ───








STRANGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang