Sepi menyeruak kembali, memenuhi hari-hari Wonwoo yang semakin abu. Mungkin iya, sejak dulu hingga kemarin dirinya begitu mengagumi hujan tapi sekarang semua terasa biasa saja. Tetesan air yang selalu menemani diamnya kini menjadi hal yang paling Wonwoo hindari eksistensinya. Hujan dulu membawa Wonwoo pada arti nyata kebahagiaan, dimana ia bisa mencurahkan segala beban berubah menjadi sumber beban sendiri.
Maka dengan segenap tekad kuat yang ia pupuk dalam hitungan jam, Wonwoo membulatkan keputusan akhir yang terus meraung dalam benak.
Dia ingin berhenti berjualan dan akan menutup kedainya secepat mungkin─meskipun dalam surat sewa masih tersisa setengah tahun lagi.
"Kau serius? Kau punya pekerjaan baru atau bagaimana?" Seungcheol yang kala itu menemani Wonwoo selepas peresmian kafe temannya langsung melesat pulang karena pria yang lebih muda itu menelepon melalui telepon bar─Wonwoo tak punya ponsel pribadi.
Mata Wonwoo menatap nanar gelas yang berisi wine, enggan meneguknya meskipun kerongkongannya kering. "Aku sudah memutuskannya. Kurasa kau bisa membantuku untuk mendapat pekerjaan, Hyung."
"Apa? Kau ingin jadi partner pelangganku di lantai dua?"
Wonwoo mendengus, "Apapun itu asal jangan kegiatan di lantai dua."
Seungcheol memijit pelipisnya, dia merasa pusing seketika menghadapi permasalahan hidup Wonwoo yang tak pernah berakhir. Kenal sejak belasan tahun lalu tak kunjung membuat Seungcheol memahami garis pikiran Wonwoo. Pria yang ada di hadapannya itu begitu rumit dan seorang pribadi yang tertutup, dengan sejuta makna yang tersimpan dalam ekspresi wajahnya yang nyaris selalu datar setiap waktu.
"Aku sudah memiliki banyak pegawai, Won," tukas Seungcheol, meneguk minumannya pelan. "Satu-satunya hal yang bisa kau kerjakan hanyalah menyortir wine, itupun tidak setiap hari dengan gaji yang tidak menentu."
Lama Wonwoo diam, menyadari Seungcheol jelas tak dapat membantunya dalam urusan finansial. Bukan tanpa alasan Wonwoo tak ingin melanjutkan apa yang sudah dikerjakannya sejak lama. Dialognya dengan Jeonghan beberapa waktu lalu membuatnya sadar bahwa apapun hal yang dilakukan Wonwoo tidak akan menghapus apa yang terjadi beberapa tahun lalu dalam sekejap. Dosa dan penyesalan Wonwoo tidak akan luntur begitu saja termakan waktu. Bayangan memori selalu menuntut Wonwoo untuk terus menyalahkan dirinya sendiri tanpa henti dan itu jelas tidak memberikan dampak yang baik bagi masa depan Wonwoo yang masih buram.
"Aku rindu Changwon."
Ketika Wonwoo berucap, Seungcheol nyaris memuntahkan minuman yang ada dalam mulutnya. Dadanya berdebar beriringan dengan musik bar yang kian berisik menjelang tengah malam. "Kau rindu Ibu?" tanyanya samar. Obrolan kali ini pasti akan terasa lebih berat dari yang Seungcheol bayangkan.
Wonwoo tersenyum, "Kau ingat, Hyung? Ketika kau baru masuk kesana teman-temanku yang lain melemparimu dengan replika tamiya mini karena menganggapmu aneh. Mereka mengira kau bukan orang lokal karena alismu yang tebal dan bulu matamu yang panjang."
KAMU SEDANG MEMBACA
STRANGER
Fanfiction[ DISCONTINUED ] Wonwoo, a desperate man who is good at making ramyeon with all of his past and sins. One day, light come to his life but he doesn't know whether he should let it go or try to let it flow.