ZIZI 03- Perpustakaan

1.3K 115 20
                                    


03-Perpustakaan

Malam ini, Zia tidak berminat menyentuh buku pelajaran. Zia lebih tertarik menggambar sketsa wajah Zidan di buku gambarnya. Zia memang suka menggambar. Saat SD dan SMP, Zia pernah menjuarai lomba menggambar.

Zia puas melihat hasil gambarnya. Ia menggambar tanpa melihat foto. Mudah bagi Zia mengingat wajah cowok itu. Rahang tegas, mata bulat, hidung tidak pesek tapi tidak mancung juga, dan bibir tipis yang selalu tertutup rapat saat diajak bicara.

Hasil gambar tersebut kemudian Zia selipkan di buku modul matematika. Setelah itu ia beranjak ke tempat tidur.

***

Ayam jago dan burung pipit yang berada di belakang rumah Zia saling bersahutan sejak tadi. Zia tidak perlu repot-repot mengaktifkan alarm di ponselnya, sebab setiap hari kedua hewan milik tetangga itu selalu berhasil membangunkan Zia.

Zia yang sudah berpakaian lengkap menuruni anak tangga satu persatu. Zia mendatangi dapur, siapa tahu Nindya sedang memasak sesuatu di sana. Katering langganan masih libur, alhasil Nindya-lah yang memasak untuk sarapan.

Namun, tidak ada Nindya di dapur. Zia kemudian pergi ke kamar maminya, tetapi Nindya pun tidak ada di sana. Akhirnya Zia berlari menuju ruang kerja sang mami, barulah Zia menemukan Nindya tertidur dengan kepala menindih kertas-kertas yang berserakan di meja. Laptopnya juga dibiarkan menyala. Pasti Mami ketiduran, pikir Zia.

Gadis berambut panjang itu merasa iba. Sejak ditinggal papinya yang gugur di medan perang saat Zia berusia lima tahun, Nindya yang berprofesi sebagai pengacara itu bekerja keras menghidupi putri semata wayangnya. Tak jarang Nindya menangani kasus yang berat hingga membuatnya membawa pekerjaan itu ke rumah. Pernah Zia iseng bertanya kenapa Nindya tidak menikah lagi saja supaya ada yang mencari nafkah, jawaban Nindya membuat Zia mesem-mesem.

Mami masih punya kamu, ngapain cari orang lain buat jadi pendamping hidup? Lagian Mami masih kuat ngasih makan kamu, orang kamu makannya sedikit.

Dengan jawaban itu, Zia tidak perlu khawatir lagi maminya menikah lagi. Sebab ia pun tidak mau punya bapak tiri.

Zia mencoba membangunkan Nindya, dengan mengguncang bahunya. Tak butuh waktu lama, Nindya menggeliat lalu menegakkan tubuhnya.

"Lho Zi, kamu kok udah pake seragam? Jam berapa sekarang?"

Zia menengok arloji yang merekat di pergelangan tangan kirinya. "Jam enam lewat dua puluh, Mi."

"Astaga! Mami harus cepet-cepet ke kantor. Hari ini sidang terakhirnya."

Secepat kilat Nindya menumpuk kertas-kertas yang semula berserakan di meja. Zia berinisiatif membantu Maminya.

"Mbak Sumiyem nggak dateng lagi, Zi?" Mbak Sumiyem adalah tukang katering langganan Zia.

"Nggak, Mi. Kan masih libur."

"Ya udah, Mami masak dulu buat kamu."

"Nggak usah, Mi. Mami siap-siap aja ke kantor. Zia bisa makan di kantin."

"Anak gadis Mami pengertian sekali. Maafin Mami, ya. Semoga aja nanti Mami bisa pulang cepet."

Nindya bergegas menuju kamarnya. Zia juga keluar dari ruang kerja Nidya, tak lupa Zia menutup pintunya sebelum beranjak dari sana. Gadis berusia enam belas tahun itu mengambil tas sekolahnya di kamar, lantas beranjak menuju garasi untuk memanaskan mobilnya.

ZIZI - [Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang