ZIZI 06- Jangan Boros

1.1K 107 10
                                    

06- Jangan Boros

Seorang lelaki paruh baya berseragam army menghampiri putri kecilnya yang sedang bermain boneka barbie di teras rumah. Anak berumur enam tahun itu tidak sadar kalau papinya sudah pulang. Sampai akhirnya lelaki itu memanggil anaknya.

"Queen Zianka...."

"Papi!"

Anak itu menghambur ke pelukan sang ayah. Barbie yang ada ditangannya dibuang begitu saja. Jelas sekali anak itu begitu merindukan papinya yang selalu ditugaskan ke daerah-daerah terpencil.

"Zia mau deh kayak Papi. Pake baju ini."

Tawa lelaki itu pecah setelah mendengar celoteh polos putrinya. "Kalau Zia mau pake baju ini, Zia harus mengabdi sama negara."

Dahi anak itu berkerut. "Mengabdi sama negara itu apa, Pi?"

"Mengabdi itu ... Zia harus nurut kalau nanti disuruh nolong orang sama jenderal. Kalau gak nurut, Papi gak boleh pake baju ini."

"Zia mau nolong orang ah biar Zia bisa punya baju kayak Papi."

Lelaki itu tersenyum. "Jadi anak yang baik ya, Nak. Kalau ada orang yang kesulitan, kamu tolong. Kalau kamu melakukan kesalahan, segera minta maaf dan bertanggung jawab atas kesalahan kamu. Nanti, bukan baju ini saja yang kamu dapat, tapi pahala dari Allah."

Zia mengangguk. Entah anak itu paham atau tidak. Yang jelas, lelaki itu senang anaknya tidak melakukan hal yang tidak wajar. Selama ini dia belum pernah mendengar laporan yang tidak menyenangkan dari istrinya. Maka dari itu, lelaki itu tak pernah merasakan was-was saat meninggalkan anak dan istrinya. Ia berharap semoga selalu diberi kesehatan, agar bisa melihat pertumbuhan Zia hingga dewasa kelak.

Namun, Tuhan berkehendak lain. Itu adalah percakapan terakhir Zia dengan papinya. Karena enam bulan kemudian, sang papi gugur dalam menjalankan tugasnya.

***

Entah kenapa percakapan itu kembali menyeruak di ingatan Zia. Tidak ada yang mengira bahwa kata-kata papinya adalah pesan terakhir. Seiring berjalan waktu, Zia melaksanakan pesan tersebut.

Seperti yang dia lakukan sekarang. Zia akhirnya mengantarkan kembali Zidan ke tempat semula. Melihat wajah Zidan yang pucat, membuat Zia merasa bersalah karena sudah memaksa Zidan ke kafe.

"Lo bisa keluar sendiri dari mobil gue, kan?"

"Susah. Mobil lo sempit sih, gue jadi gak bisa leluasa."

Zia melotot. Tidak terima mobil kesayangannya dikatain sempit. "Masih untung gue mau nganterin lo sampai sini."

"Oh, jadi lo gak ikhlas nganterin gue?"

"Sangat ikhlas. Cuma lo-nya aja yang ngelunjak. Bangun sendiri! Gue ogah narik-narik lo lagi."

"Gue beneran susah bangun, Zianka. Mobil lo pendek."

Zia geregetan. "Tadi lo ngatain sempit sekarang pendek. Emang kurang ajar ya, lo!"

Zia turun. Menghampiri pos satpam untuk mencari bantuan. Tak lama Zia kembali bersama seorang satpam. Zia membukakan pintu mobil. Kemudian satpam tersebut membantu Zidan bangkit dari mobil Zia.

"Makasih, Pak. Tolong tuntun dia sampai rumahnya ya, Pak. Kali aja dia tersesat gak tau arah jalan pulang."

"Siap, Non."

***

Untuk mengembalikan moodnya, Zia pergi ke mall. Melihat aneka ragam dress dan T-shirt. Zia yang kalap tak menyadari jika uang di dalam kartu debitnya sudah lenyap mencapai sepuluh juta.

Zia tak ambil pusing. Toh, nanti Nindya akan menambah uang jajannya lagi seperti yang sudah-sudah.

Puas berbelanja, Zia mampir ke foodcourd untuk mengisi perutnya. Tadi di rumah memang belum sempat makan, sebab niat awalnya pergi dari rumah pagi-pagi adalah makan bersama Zidan. Zia keroncongan.

Setelah makan Zia pun pulang.

***

"Zia, kamu habis belanja lagi?"

Nindya yang baru selesai yoga kaget melihat anaknya membawa paper bag berukuran besar begitu banyak. Zia yang ditanya cuma bisa nyengir.

"Sini, Nak. Duduk."

Zia menurut. Ia pun duduk di dekat Nindya.

"Kamu harus belajar hemat, Zi. Biar tabungan papi kamu gak cepet habis. Dulu, papi kamu kerja buat menghidupi kamu di masa depan, bukan untuk dihambur-hamburkan. Mami memang selalu ngasih lagi, itu pake uang hasil gaji Mami. Dan lama-lama akan habis kalo kamu sering belanja yang gak penting kayak gini."

Zia bungkam.

"Coba kamu lihat di kamar, banyak banget belanjaan yang akhirnya gak terpakai. Itu jadinya mubazir, Zi. Mami nggak suka. Mami emang pernah ngajarin kamu jadi anak boros? Nggak, kan?"

Zia menggelengkan kepalanya. Memang benar, seumur hidup Zia belum pernah melihat Nindya menghamburkan uang untuk hal-hal yang tidak penting. Bahkan Nindya masih mengenakan blazer yang dibelinya tiga tahun lalu.

"Kamu itu perempuan, harus pintar mengatur keuangan, biar anak-anak kamu bisa makan. Coba kamu bayangin, kamu belanja kayak gini tapi anak kamu kelaparan, nggak bingit, kan?"

Zia awalnya ingin tertawa karena kata bingit yang diucapkan Maminya, tapi ia urungkan. Mami tau dari mana kata-kata alay itu?

"Mami sayang sama kamu, Zi. Mami nggak mau kamu jadi anak boros. Mendingan kamu nggak usah berteman lagi sama si Sherly itu."

"Kenapa, Mi? Sherly kan sahabat aku?"

"Mami perhatiin sejak kamu berteman sama dia, pengeluaran kamu jadi semakin meningkat. Dengerin Mami, teman itu ibarat penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Kalo kamu dekat sama yang minyak wangi, kamu akan dapat wanginya, dan kalo kamu dekat sama yang pandai besi, kamu akan terkena percikan apinya¹. Kamu paham maksud Mami, kan?"

Zia mengangguk walau sebenarnya belum paham. Zia tidak mau memperburuk suasana.

Benar yang dikatakan Nindya, sejak dekat dengan Sherly, Zia jadi banyak mengeluarkan uang. Dia merasa harus mengimbangi Sherly yang kaya raya.

♥♥♥

Done
020919

Published
080919

***

Next part...

"Jangan sampai lo nyakitin Zidan. Karena kalo itu terjadi, lo harus berhadapan sama gue."

***

A/N

Note [1] : HR. Bukhori 5534 dan Muslim 2628

ZIZI - [Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang