14- Anak Baru
"Zia, katanya mobil kamu selesai hari ini. Mana?"
Malamnya, Nindya menanyakan mobil kembali. Zia yang baru selesai makan meletakkan kedua tangannya di bawah meja. Rasa gugup mulai menguasai dirinya.
Zia harus jujur. Kalau berbohong lagi, pasti Nindya akan bertanya terus.
"Sebenernya mobil Zia nggak di bengkel, Mi."
"Lho terus di mana?"
"Di rumah Sherly, Mi."
Nindya menatap Zia di seberang meja penuh selidik. "Maksud kamu ada di rumah Sherly apa?"
Zia menundukkan kepalanya. "Zia kalah taruhan, Mi."
"Apa?" Nindya bangkit. Menghampiri anaknya yang tidak berani menatapnya. "Jelasin ke Mami kamu ikutan taruhan apa?"
Zia kemudian menjelaskan semua yang terjadi dengan terbata-bata dan tidak berani mendongak sedikit pun.
"Zia! Mami kan udah bilang sama kamu, jangan ikutan taruhan! Lihat sekarang apa akibatnya, mobil kamu sekarang nggak ada, kan? Kamu ini mikir nggak sih? Itu mobil hasil kerja keras papi kamu!" Nindya murka. Jelas, ibu mana yang rela anaknya dimanfaatkan oleh temannya sendiri. Sedari dulu Nindya sudah memiliki firasat buruk kepada Sherly. Gelagat anak itu benar-benar mencurigakan. Ada rasa was-was setiap kali Sherly mendatangi rumahnya.
"Zia minta maaf, Mi. Zia salah."
"Iya, kamu salah. Mami marah sama kamu. Mami nggak mau tau, bagaimanapun caranya mobil itu harus ada besok!"
Kemudian, Nindya masuk ke ruang kerjanya. Zia juga bergegas ke kamarnya, mengambil ponsel, dan menghubungi Sherly, mencoba untuk negosiasi sekali lagi.
"Sher, bisa nggak besok mobilnya lo balikin?"
"Apaan sih? Ya nggak bisa lah! Itu kan udah jadi hukuman lo. Lo udah sepakat, itu artinya lo harus terima akibatnya."
"Mami gue udah tau. Mami gue marah. Dia pengen lo balikin mobil gue."
"Ya itu bukan urusan gue. Kita ini udah selesai, lo kalah dari taruhan. Dan apa pun urusannya setelah ini gue nggak mau ikut campur."
Sambungan diputus secara sepihak oleh Sherly. Pikiran Zia kalut. Dia sekarang mencoba menelepon Salza.
"Lo kenapa, Zi? Kok lo nangis?"
"Mami gue udah tau, Sal. Mami pengen mobilnya balik, tapi Sherly nggak mau."
"Ya gimana lagi? Lo udah tau watak Sherly, kan? Dia nggak mau dibantah."
"Terus gue harus gimana? Mami pasti tambah marah kalau besok mobil gue nggak ada di garasi."
"Ya udah, nanti gue coba ngomong ke Sherly, ya. Lo jangan nangis lagi."
Zia mematikan ponselnya. Hari ini dia benar-benar lelah. Sudah berapa kali dia menangis gara-gara ulahnya sendiri. Andai saja dia tidak menerima taruhan itu, sekarang mobilnya masih ada dan maminya tidak memarahinya.
Ternyata benar, penyesalan selalu hadir belakangan.
***
Busway menjadi alat transportasi Zia untuk sementara ini. Tidak ada pilihan lain. Nindya mana mau mengantarkannya ke sekolah. Sekarang maminya masih enggan bicara setelah tahu mobil Zia dijadikan bahan taruhan.
Usai mengambil buku dari dalam loker, Zia melihat Zidan yang sedang berjalan menuju kelasnya. Zia berlalu begitu saja tanpa menyapa atau menatap Zidan. Keduanya tampak seperti orang asing yang saling tidak kenal.
Bel tanda pelajaran dimulai berdering. Zia duduk, kemudian mengeluarkan alat tulisnya. Siap mengikuti pelajaran pertama dengan suasana hati yang sulit diungkapkan.
Salza yang duduk di samping Zia tidak sengaja melihat kantung mata Zia yang membesar. Zia yang diam saja membuat Salza urung bertanya. Lebih baik menunggu Zia bercerita saja daripada mencercanya dengan pertanyaan.
Bu Indira, guru bahasa Indonesia memasuki kelas bersama seorang siswa laki-laki yang tidak dikenal.
"Kelas kita kedatangan siswa baru. Namanya Narendra Aditya. Dia pindahan dari SMA Harapan Jaya."
Nyaris seluruh siswa di kelas melongo. Termasuk Zia. Siapa yang tidak kenal dengan SMA Harapan Jaya? Sekolah bergengsi dan sudah bertaraf internasional. Bahkan lulusan di sana terbaik semua. Akan tetapi kenapa Narendra Aditya memilih pindah?
"Kenalin, saya Rendra. Semoga kalian mau nerima saya."
"Rendra, kok lo bisa pindah? Kan udah kelas tiga, emang bisa ya?" tanya salah satu siswa.
Rendra ingin menjawab, tetapi Bu Indira sudah membuka suara terlebih dahulu. "Tanya-tanyanya nanti saja ya saat istirahat. Sekarang kita mulai pelajaran pagi ini."
***
Zia mengaduk kuah baksonya. Biasanya dia paling semangat kalau makan bakso, sekarang entah kemana perginya selera makannya.
Tatapannya kosong. Pikirannya sedang mengembara, mengatur siasat supaya Sherly mau mengembalikan mobilnya. Walaupun Zia tahu, Sherly tidak mungkin mau menyerahkan mobilnya begitu saja. Meminta bantuan Salza sepertinya percuma. Namun, kalau hari ini mobil itu tidak kembali, Nindya pasti akan tambah marah.
Huft.
"Sendirian aja nih."
Zia terperanjat. Hampir saja tangannya masuk ke kuah bakso kalau Rendra tidak segera menyingkirkan mangkuknya.
"Maaf ya kalau gue bikin lo kaget."
"Nggak papa. Nggak masalah."
"Boleh gue duduk di sini?"
"Boleh-boleh aja."
Rendra duduk di seberang Zia. Zia sama sekali tidak berniat menatap cowok itu.
"Lo Queen Shaqeena selebgram itu, kan?" Rendra membuka percakapan.
"Iya. Kenapa?"
"Gue udah lama ngikutin lo. Follback dong. Akun gue Rendraditya."
"Nanti gue follback."
"Sekalian gue minta nomer hp lo, boleh nggak?"
"Boleh. Buruan catet!"
Dengan malas Zia menyebutkan dua belas digit nomor ponselnya.
"Makasih Shaqeena," ucap Rendra setelah menyimpan nomor ponsel Zia.
"Panggil Zia aja."
"Oh, oke Zia cantik."
Zia nyengir. Gue udah tau dari lahir kalau gue cantik, batin Zia.
❤❤❤
Done
211019Published
221019***
Next part ...
Zia merasakan marah sekaligus malu dalam waktu yang bersamaan. Dia tidak menyangka kalau Rendra melakukan hal konyol di hari keempat dia berada di SMA Aksara.
***
A/N
Besok udah part 15 sodara-sodara 😂
Dah gitu aja.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZIZI - [Terbit]
Teen Fiction[SEBAGIAN PART DIHAPUS. BUKUNYA BISA KAMU BELI DI TOKBUK ONLINE KESAYANGAN KAMU] "Lo harus bisa menaklukan hati Zidan dalam waktu empat belas hari." Petualangan Zia dimulai. Ia pun rela jatuh bangun demi hadiah yang dijanjikan temannya. Empat belas...