ZIZI 12- Zonk

1K 107 7
                                    

12- Zonk

Semasa hidupnya, papi Zia sangat memperhatikan kesejahteraan keluarganya. Papi termasuk laki-laki yang giat menabung dan hemat sejak kecil. Setelah menikah, Nindya jadi tertular kebiasaan tersebut. Sebelum Zia lahir papi sudah menyisihkan uangnya untuk masa depan anaknya. Tidak tanggung-tanggung, bahkan papi juga sudah mempersiapkan tabungan untuk pernikahan Zia kelak.

Soal kendaraan untuk anaknya, sebenarnya sang papi yang akan membelikan di saat Zia berumur tujuh belas tahun. Papi ingin anaknya tidak repot saat hendak pergi ke sekolah. Namun, sayang Tuhan tidak mengabulkannya. Maka, kendaraan tersebut menjadi wasiat terakhir yang harus dijalankan. Saat Zia sudah berumur tujuh belas tahun lima bulan yang lalu, Nindya pun gencar mencarikan kendaraan tersebut. Nindya jatuh hati pada Mini Cooper S Cabrio. Usai berbincang dengan Zia, akhirnya Nindya membeli kendaraan tersebut dengan harga yang cukup fantastis. Begitu proses surat-suratnya selesai, Zia mulai diajari menyetir oleh pamannya.

Mobil tersebut menjadi kado pertama dan terakhir yang Zia terima dari papinya, meski tidak diberikan secara langsung. Setiap ulang tahun, Zia hanya diberi sepucuk surat dan itu baru tiba sebulan kemudian. Maka dari itu, Zia berjanji akan menjaga dan merawat mobil tersebut sampai kapanpun.

Namun, hari ini menjadi saksi bahwa Zia tidak menepati janjinya sendiri.

Seandainya Zia tidak ikut taruhan itu, mungkin sekarang mobil itu masih ada.

Semalaman Zia tidak bisa tidur karena memikirkan nasib mobilnya yang ada di rumah Sherly sekarang. Apakah Sherly meletakkan mobilnya dengan benar? Apa Sherly memperhatikan mesinnya? Apakah Sherly membersihkan bagian dalam mobilnya seperti yang Zia lakukan setiap hari?

"Zia, mobil kamu di mana? Kok Mami nggak liat?"

Zia menghentikan pergerakan sendok dan garpu yang ia genggam. Wajar saja Nindya bertanya seperti itu, karena biasanya mobil Zia selalu berdampingan dengan mobil milik Nindya.

"Mobil, ya?"

"Iya. Kok nggak ada di garasi? Kamu kemarin pulang sekolah naik apa?"

"Mobil ada di bengkel, Mi." Zia tidak berterus terang.

"Loh, kok bisa? Kan mobilnya masih baru."

"Iya, Mi. Pas mau dihidupin mesinnya, gak mau. Akhirnya Zia bawa ke bengkel. Katanya hari ini udah jadi."

"Oh gitu. Bagus deh. Kirain mobil kamu diambil sama orang."

Glek.

Zia buru-buru menyelesaikan sarapannya agar bisa secepatnya ke sekolah. Menghindari Nindya saat ini sepertinya ide yang sangat bagus, semoga maminya tidak curiga.

***

Zia akhirnya pergi ke sekolah naik ojol.

Tidak sedikit yang bertanya mengapa hari ini Zia tidak membawa mobilnya. Dan itu membuat Zia terpaksa berbohong lagi demi menutupi aib yang sesungguhnya. Akan tetapi, usaha Zia gagal saat Sherly datang dengan mobilnya.

"Sher, kok mobilnya Zia ada sama lo?" tanya salah satu siswa ketika Sherly melintas.

"Iya dong. Kemarin kan Zia kalah taruhan sama gue," jawab Sherly dengan wajah tanpa dosa. Membuat nyali Zia ciut di hadapan para siswa.

"Oh, jadi lo kalah taruhan, Zi? Kasian amat."

"Makanya jangan suka sombong sama kita-kita. Kena akibatnya kan lo."

"Makan tuh mobil ada di bengkel, hahaha ...."

Zia menyingkirkan diri dari para siswa yang mengejeknya itu. Ejekannya masih terdengar di telinga Zia meski dirinya sudah jauh. Hati Zia sakit saat Sherly dengan bangganya mengatakan Zia kalah taruhan. Tanpa memikirkan perasaan Zia yang katanya sahabatnya.

Zia hendak masuk ke kelas. Namun, ternyata ada Ulil yang berdiri di depan pintu kelasnya.

"Ulil? Tumben lo ke kelas gue."

Zia refleks mundur saat Ulil bergerak maju. Tatapan cowok itu benar-benar ngeri, wajahnya merah padam, seakan ia ingin menerkam Zia hidup-hidup.

"Lo pasti masih inget kata-kata gue, kan?"

Ulil berhasil mencekal salah satu tangan Zia. Hingga gadis itu tak bisa bergerak mundur lagi. Cengkeramannya yang erat membuat Zia meringis kesakitan.

"Lo pikir gue main-main? Lo salah besar! Siapapun yang berani nyakitin Zidan dan gue tahu, gue nggak akan segan-segan buat perhitungan meskipun lo itu perempuan!"

"Lepasin tangan gue. Sakit." Zia mulai berontak.

"Ini belum seberapa dibanding rasa sakit yang dirasain Zidan sekarang! Lo nggak tau derita apa yang Zidan hadapi sekarang dan lo dengan teganya nambah-nambahin beban dia. Gue pikir lo tulus deketin Zidan, tapi ternyata lo sama aja kayak cewek sebelumnya. Sampah!"

Zia menangis. Cengkeraman Ulil benar-benar kuat. Sakitnya tidak bisa ditahan lagi. "Kenapa cuma gue? Gue dulu punya salah apa sama kalian?"

"Kenapa? Lo masih tanya kenapa? Ya karena elo-" Kalimat Ulil terputus. Napasnya yang tadinya memburu kini perlahan surut. Nyaris saja tadi mulutnya mengumbar rahasia yang selalu ia jaga selama ini. Rahasia yang seharusnya biar orangnya langsung yang memberitahu.

Mata Zia yang sembab menatap Ulil bingung. Tangan cowok itu mulai longgar sehingga Zia bisa menarik tangannya. "Gue kenapa? Kalo emang dulu gue ada salah sama kalian berdua, gue minta maaf. Soal taruhan itu, gue juga mau minta maaf."

"Mulai sekarang lo nggak usah ketemu Zidan lagi. Zidan nggak butuh cewek matre kayak elo!"

Setelah itu, Ulil pergi. Zia menyeka kasar sisa air matanya di pipi tirusnya. Masih pagi, tapi Zia sudah dihadapkan kejadian yang berat. Semoga saja nanti pulang sekolah Zia bisa bertemu Zidan untuk meminta maaf dan meluruskan semuanya.

❤❤❤

Done
081019

Published
111019

***

Next part....

"Kembali percaya ke orang yang udah nyakitin, itu susah. Dan lo pasti udah tau itu, kan?"

***

A/N

Buat yang mau liat mobilnya bisa cek di mulmed. Serius, harganya gak santuy.

ZIZI - [Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang