11- 17 AgustusHari ini bertepatan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Seperti sekolah pada umumnya, SMA Aksara mengadakan upacara bendera peringatan 17 Agustus. Beberapa siswanya menjadi petugas upacara.
Zia yang berdiri di barisan kanan mengedarkan pandangannya. Mencari sosok Zidan di antara barisan siswa. Namun, di mana pun Zidan tidak terlihat. Apa cowok itu nggak ikut upacara?
Upacara selesai bersamaan dengan teriknya matahari yang mulai terasa. Zia keluar dari barisan. Menyeka keringat di pelipisnya sambil berjalan menuju loker untuk mengambil tasnya.
Tiba di loker, Zia melihat Zidan sedang melangkah ke arahnya yang entah dari mana.
"Lo bolos upacara, ya?" tanya Zia tanpa basa-basi.
"Gue ini selalu ikut upacara dan berdiri di barisan paling belakang."
"Masa sih? Perasaan gue gak liat lo tadi."
"Emangnya penting gue terlihat di mata lo?"
Zia tak bisa menjawab.
"Gue mau ngasih sesuatu ke elo," kata Zidan kemudian. "Bisa minta waktunya sebentar?"
"Bisa. Di sini aja."
Loker tampak sepi pagi ini. Hanya Zia yang rajin mendatangi loker untuk sekadar menaruh barang atau memastikan ada Zidan di kelasnya.
"Oke."
Setelah itu Zia melihat Zidan mengeluarkan ponselnya. Jemarinya mulai mencari sesuatu di gawai tersebut. Zia tenang-tenang saja dengan sesuatu yang sebentar lagi akan ditunjukkan oleh Zidan. Namun, begitu Zidan memutar rekaman percakapan dua orang perempuan di ponsel itu, Zia merasakan kedua kakinya tidak dapat bergerak.
"Gue rasa Zidan udah mulai luluh deh sama lo. Itu artinya bentar lagi gue bakalan beli tasnya buat elo."
"Serius lo?"
"Iya. Kemarin nyokap gue udah transfer duitnya, mungkin besok baru gue pesen tas itu."
Zia terhenyak. Bahkan untuk menatap Zidan saja dia tidak sanggup. Zia malu. Sekarang kedoknya sudah terbongkar. Padahal belum genap empat belas hari.
"Gue ngejar elo kemarin. Cuma mau ngasih mie ayam yang lo tinggalin gitu aja. Ternyata ... gue malah–"
"Zidan, gue bisa jelasin ...."
"Nggak ada yang perlu lo jelasin, Zi. Gue udah sangat tau kalo lo selama ini deketin gue cuma dijadiin bahan taruhan."
Zia mendongak. Menatap wajah Zidan yang kian hari kian memucat. Kenapa Zidan masih bisa bersikap tenang di saat mengetahui dirinya hanya dijadikan bahan taruhan?
"Gue mohon, Zi. Lo bisa kan bersikap seolah-olah lo belum tau masalah ini? Gue gak mau kehilangan mobil gue, itu peninggalan Almarhum bokap gue. Lo pasti ngerti, kan?" Entah setan apa yang merasuki Zia hingga berani-beraninya berkata seperti itu.
"Kemarin, lo yang bilang kalau gue nggak punya hati. Pada kenyataannya, elo yang gak punya hati."
Zia menelan salivanya berat. Mengingat ucapannya kemarin yang sekarang menjadi boomerang untuknya.
"Gue nggak bisa bantu lo. Lo bisa ngedapetin tas itu dengan cara yang lebih mulia. Bukan dengan cara kayak gini."
Dada Zia bergemuruh. Kedua matanya pun mulai berembun. Zia baru berani mengeluarkan air matanya setelah Zidan pergi.
***
"Mana kunci mobil lo?"
Zia menatap nanar sahabatnya. Setelah menceritakan kejadian itu, Sherly dengan wajah tanpa dosa meminta kunci mobilnya?
Iya, Zia tahu ini risikonya setelah menerima tantangan dari Sherly. Tapi, apa tidak bisa dinegosiasi dulu?
"Sher, lo bisa ambil barang apa aja di rumah gue, asal jangan mobil gue. Lo tau kan, mobil itu ada sejarahnya."
"Gue nggak peduli, Zi. Lo kan udah ketahuan, itu artinya lo kalah. Mana kunci mobilnya?"
Suara Sherly yang meminta kunci mobilnya terus menggema di telinga Zia. Salza yang juga ada di sana pun tidak bisa membantu apa-apa, walaupun dia ingin sekali mengomeli Sherly tak peduli sekarang sedang ada di kantin.
"Sher ...."
"Gue nggak nerima penolakan, Zi! Itu risiko lo!"
Zia menangis saat itu juga. Dengan berat hati Zia meletakkan kunci mobilnya di meja. Lantas setelahnya Zia beringsut pergi menuju kelasnya.
Sesak. Itulah yang Zia rasakan sekarang. Ia pun tidak bisa membayangkan bagaimana caranya membeberkan kenyataan ini kepada Nindya.
"Zi ...."
Salza menghampiri Zia yang tertunduk. Mengelus bahu Zia yang bergetar akibat menangis.
"Lo tau kan Sal? Itu mobil barang berharga gue. Satu-satunya usaha bokap gue yang selalu gue jaga ...," ucap Zia disela isak tangisnya.
"Iya, gue tau, Zi."
"Terus gue harus gimana? Kalo nyokap gue sampai tau, gue mau bilang apa ...."
"Sabar, Zi. Nanti gue coba bilang ke Sherly, ya. Udah, lo jangan nangis lagi."
Salza iba. Dia sendiri juga tidak menyangka bahwa Zidan cepat sekali mengetahui niat asli Zia. Salza merasa bersalah karena ia tidak mencegah Zia untuk menolak tantangan Sherly sejak awal, juga selalu menyimpan rapat rahasia Sherly selama ini.
❤❤❤
Done
041019Published
061019***
Next part ....
Zia refleks mundur saat Ulil bergerak maju. Tatapan cowok itu benar-benar ngeri, wajahnya merah padam, seakan ia ingin menerkam Zia hidup-hidup.
***
A/N
Ini baru awal gaes. Bagian yg lebih berat sebentar lagi bakal muncul.
Ayo jawab kuisnya di part sebelumnya. Kalo gak ada yang jawab, part 15-nya gak aku unggah. Wkwkwk. /tendang ke pluto
Kalo udah jawab, aku kasih bonus cast Zidan 😘
Zidan: Jangan maaaaak. Nanti mukaku terkontaminasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZIZI - [Terbit]
Teen Fiction[SEBAGIAN PART DIHAPUS. BUKUNYA BISA KAMU BELI DI TOKBUK ONLINE KESAYANGAN KAMU] "Lo harus bisa menaklukan hati Zidan dalam waktu empat belas hari." Petualangan Zia dimulai. Ia pun rela jatuh bangun demi hadiah yang dijanjikan temannya. Empat belas...