16- Lapangan
Besoknya, Zia nekat pergi ke sekolah walaupun kepalanya masih pusing. Ia tak ingin terlalu lama ketinggalan pelajaran. Lagi pula di kamar terus Zia bisa bosan. Namun, Zia harus rela Nindya yang mengantarkan ke sekolah menggunakan mobil pribadinya karena tidak mau Zia berdecak-desakan di dalam bus. Karena itu syarat Zia boleh pergi ke sekolah.
"Belajar yang bener, ya? Pulangnya kamu telpon mami aja, nanti mami jemput," ucap Nindya setelah Zia mencium tangannya.
"Iya, Mi."
Mobil Nindya melesat pergi setelah itu. Zia kemudian berjalan menuju kelasnya bersama siswa yang lain dan berpisah di loker.
Zia memutar kunci pintu lokernya. Begitu loker terbuka mata Zia melebar. Ada banyak cokelat silverqueen di dalam lokernya. Zia hitung ada sepuluh buah. Lalu di balik pintu, ada stiky note yang tertempel, bertuliskan 'semoga cepet sembuh'. Zia memeriksa kembali lokernya, tidak ada bekas congkelan maupun kerusakan sejenisnya. Zia yakin, selain dirinya pasti ada orang yang memegang kunci lokernya.
Zia teringat cokelat silverqueen yang ia terima bulan April lalu yang berakhir si pengirim berkata sudah tahu kalau cokelatnya bukan Zia yang makan. Apakah pengirim cokelat ini adalah orang yang sama?
Zia mengambil satu buah cokelat tersebut, lalu menutup pintu lokernya. Zia menatap cokelat itu lama, perlahan tangannya merobek bungkus luarnya dan mengigit cokelatnya.
Zia tidak menyadari, dari kejauhan si pengirim tersenyum lebar melihat cokelat kirimannya dimakan.
***
"Zia, kamu udah sembuh?"
Itu suara Rendra yang menyambutnya di kelas. Zia duduk di kursinya.
"Iya. Bosen gue di rumah terus."
"Oh ya, cokelatnya udah kamu makan, kan?"
Gerakan Zia yang hendak membuka resleting tasnya terhenti. Kepalanya mendongak, menatap wajah Rendra. "Maksud lo?"
"Cokelat yang ada di loker itu, udah kamu makan, kan?"
Zia menegak salivanya. Jadi Rendra? Itu artinya pengirim cokelat itu berbeda. Entah kenapa Zia sulit menerima kenyataan ini.
"Oh, ternyata elo. Makasih cokelatnya. Udah gue makan," ucap Zia sedikit terbata-bata. Karena hatinya menolak bukan Rendra orangnya.
Hingga bel masuk berbunyi, Zia masih menampik kalau bukan Rendra pengirim misterius tersebut.
***
"Total pembeli baru dua puluh orang, itu yang udah fix transfer duit ke rekening elo." Salza memberikan laporan setelah kelas bubar. Zia kemudian menghitung jumlah uang yang masuk ke rekeningnya dari hasil penjualan tas dan sepatu.
"Belum cukup buat ganti kerugian mami," lirih Zia. Kepalanya tertunduk.
"Lo harus semangat dong! Itu kan karena belum ada separuh barang yang terjual. Gue yakin kalau barangnya kejual semua, lo bisa balik modal. Ya, walaupun gak seluruh harga mobil lo sih. Tapi nggak papa Zi, lo bisa beli mobil lagi dengan harga yang murah! Pokoknya lo harus optimis," celoteh Salza panjang lebar.
Mau tak mau Zia tersenyum. "Thank's Sal."
"Ya udah, gue ke toilet bentar ya. Lo tunggu aja di sini. Lo nggak usah telpon nyokap lo, biar gue yang anterin lo pulang."
Zia kemudian merapikan alat tulisnya. Begitu semua barangnya sudah masuk, Zia menjinjing tasnya dan siap untuk keluar. Namun, langkahnya terhenti begitu Sherly masuk ke kelasnya dengan langkah tergopoh-gopoh.
"Zi, lo ikut gue ke lapangan sekarang!"
Belum sempat Zia bertanya, Sherly sudah menarik tubuhnya. Terpaksa Zia menyeimbangkan langkah Sherly yang cepat.
Setibanya di lapangan, Zia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru. Ada setidaknya sepuluh siswi maupun siswa berdiri sambil memegang karton bertuliskan 'i love you Queen Zianka'. Juga ada Rendra yang berdiri di antara siswa itu, membawa karton besar berbentuk hati.
Rendra menghampiri Zia. Bertekuk lutut di hadapan perempuan itu.
"Zia, izinkan aku menjadi lelakimu. Agar bahuku bisa jadi sandaran saat kamu lelah, agar tanganku bisa memelukmu dan menggandeng tanganmu dengan erat, agar punggungku mampu menahan beban hidupmu yang kelam. Aku janji tak akan menyakitimu, apalagi membuatmu terluka. Aku akan selalu ada untukmu baik di saat sehat maupun sakit. Sudah lama aku mengagumimu, sudah lama aku menanti peristiwa hari ini. Dan ini saatnya, Zia, do you want to be mine?"
Selanjutnya terdengar suara siswa yang meneriaki kata 'terima'. Zia merasa marah sekaligus malu dalam waktu yang bersamaan. Marah karena Rendra melakukan hal konyol di hari keempat dia berada di SMA Aksara. Malu karena sekarang, ia menjadi tontonan gratis seantero sekolah. Tak sedikit yang mengabadikannya di gawai masing-masing.
Mata Zia menangkap sosok Zidan yang berdiri tak jauh dari lapangan. Entah kenapa, Zia malah jadi membayangkan Zidan yang saat ini bertekuk lutut di hadapannya. Lalu esoknya tas hermes itu datang sebagai pencapaiannya selama ini.
Zia segera mengenyahkan pikiran itu. Kini ia menatap wajah Rendra yang masih menunggu jawabannya. Belum pernah terlibat obrolan yang asyik, tapi kenapa Rendra berani menyatakan perasaannya?
Kepalanya menoleh ke tempat Zidan berada. Lalu menatap Rendra kembali.
"Ya, gue mau."
Selanjutnya, balon-balon berbentuk hati yang entah dari mana asalnya berterbangan di angkasa. Saat yang bersamaan, Zia tidak mendapati Zidan di tempatnya. Rendra bersorak kegirangan, merasa ini adalah hari yang paling beruntung karena berhasil menaklukan Zia.
❤❤❤
Done
081119Published
111119***
Next part....
"Beruntung ya dia, belum ada seminggu udah berhasil dapetin elo."
***
A/N
Deketnya ama Zidan, jadiannya sama Rendra. Ya ya yaaaa
Aku sebagai emaknya pun tak rela 😭😭😭
KAMU SEDANG MEMBACA
ZIZI - [Terbit]
Teen Fiction[SEBAGIAN PART DIHAPUS. BUKUNYA BISA KAMU BELI DI TOKBUK ONLINE KESAYANGAN KAMU] "Lo harus bisa menaklukan hati Zidan dalam waktu empat belas hari." Petualangan Zia dimulai. Ia pun rela jatuh bangun demi hadiah yang dijanjikan temannya. Empat belas...