"Jangan menangis lagi, ya?"
Doyoung mengusap usap punggung tanganku. Pelan sekali.
Aku menarik napas panjang. Tidak berkata apa-apa. Mataku masih berair.
Hening. Tidak ada yang berbicara. Dia selipkan jarinya ke sela-sela jemariku. Lalu ia eratkan.
Aku menyandarkan kepalaku ke pundaknya.
"Aku akan merasa senang kalau perasaanmu membaik, daripada merasa putus asa terus,"
Aku mendongak. Doyoung tersenyum menangkap pandangan mataku. Aku mencari-cari sesuatu di balik tatapan matanya. Entah apa.
Dia memalingkan wajahnya tiba-tiba. Menerawang.
"Kamu sudah tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. Aku dapat melihat semuanya."
Iya, Doyoung benar, dia bisa melihat semuanya.
Aku mengeratkan genggamanku. Ah, mataku berair lagi. Sepertinya sulit sekali untuk tidak menangis lagi. Dadaku sesak.
"Sakit ya?" ia bertanya.
Aku bersandar di bahunya. Rasanya nyaman sekali. Lalu mengangguk.
"Sakit. Sakit sekali. Seperti di tusuk pisau,""Aku akan berdoa, semoga lukamu cepat sembuh,"
Aku sudah terbiasa menahan diri dari apa-apa yang kurasakan, yang ingin kuucapkan, selama tahun-tahun yang selalu tidak berjalan dengan baik ini. Sampai ada saat-saat ketika nyaris sudah tidak bisa mengungkapkan pikiran-pikiranku. Untuk bersikap kuat, tenang, terlihat tegar, atau berpura-pura kuat – ini sama sekali tidak sulit.
Sampai ia datang. Kim Doyoung. Serta merta menghancurkan semua dinding pertahananku. Kamu bilang tidak apa-apa menangis. Jika itu terasa berat dan sakit. Hingga sekarang sampai pada titik aku dapat menunjukkan kelemahanku padanya. Tidak. Bahkan tidak perlu kutunjukkan, dia akan melihat semuanya.
Ya, dia dapat melihat apapun.
Lihat, aku hanya melakukan apa yang kamu katakan, jadi jangan pergi.
"Aku masih akan disini. Aku nggak kemana-mana,"
Siapa yang tahu, kamu bisa pergi kapan saja. Kapan pun kamu mau. Mungkin juga segera setelah ini berakhir kamu akan segera pergi, seperti yang lainnya, seperti Mama, seperti Jeon Wonwoo. Pergi dan menghilang.
"Aku sudah tidak punya apa-apa lagi sekarang. Jadi jangan pergi," akhirnya ku katakan juga.
Dia menoleh. Mengusap usap punggung tanganku lagi – ini sudah menjadi kebiasaannya sejak lama. Mengusap usap punggung tanganku ketika aku merasa gelisah. Dan entah bagaimana itu selalu berhasil membuatku merasa nyaman.
"Kamu masih punya banyak, Aimee. Dokter Lee, Chitta. Lalu kucing yang suka berkeliaran di halaman depan itu. Siapa namanya? Yang bulunya putih semua." Doyoung berusaha mengingat-ingat.
"Romeo."
"Romeo, benar." Doyoung tekekeh.
"Kamu juga masih punya aku. Aku nggak akan kemana-mana."
Aku menatap matanya yang gelap. Mencari-cari sesuatu lagi. namun masih saja tidak kutemukan.
Di dunia ini, ada orang-orang yang sangat tidak verbal. Yang tidak pandai menyampaikan pikiran ataupun perasaannya dengan kata-kata. Ayah tidak pandai. Begitupun Mama.
YOU ARE READING
Two is Better than One
Fiksi Penggemar"Jika kau tidak mau membuka hatimu, aku akan menerobos masuk," Cover by : Zeustoshid