Ragu-ragu Hermawan duduk di samping Silvy, menatapnya yang masih kukuh memalingkan muka ke arah lain. Tangannya terulur untuk menyentuh pundak Silvy, namun dia urungkan lagi.
"Vy," Hermawan memanggil pelan, berhati-hati, "saya minta maaf... Saya tidak bermaksud... Untuk... Merendahkan kamu..." kata Hermawan terbata, "saya..."
"Bapak cerita sama Ibu dan Pak Hendrik kejadian di rumah?" potong Silvy tanpa menoleh.
"Saya terpaksa cerita," aku Hermawan, "kamu pergi, tidak bisa dihubungi, saya panik, jadi saya cerita biar Bapak sama Ibu bisa bantu cari."
"Bapak mah iih!" Silvy menggeram, menumpukan seluruh wajahnya di pangkuan.
"Saya salah lagi ya, Vy?" Hermawan menyentuh pundak Silvy yang langsung ditepis Silvy Pundak Hermawan melorot pasrah, "saya minta maaf."
"Saya malu..."
Hermawan memiringkan kepalanya, merasa mendengar suara Silvy, "bagaimana, Vy?"
Silvy mengangkat kepalanya, merapikan rambut yang wajahnya yang kusut, "saya malu sama Bapak dan Ibu Pak Hermawan, saya malu tadi ditanya sudah diapain aja sama Pak Hermawan..."
Hermawan mengerjap, "saya sudah bilang apa yang sudah saya perbuat sama kamu, semuanya, kenapa Bapak dan Ibu tanya lagi?"
Silvy menutup wajahnya yang merona parah dengan ke dua tangan, "Bapak sama Ibu ngira saya diapa-apain sama bapak. Saya malu!"
"Maksudnya?"
Silvy menurunkan tangannya, menatap Hermawan kesal.
Kenapa Pak Hermawan tampan mapan hartawan mendadak jadi lemot sih!
"Memang Bapak gak malu cerita masalah pribadi ke orang tua Bapak?"
Hermawan mengerjap, "kenapa saya harus malu, mereka orang tua saya."
"Bapak iiih," Silvy menghentakan kakinya, "Bapak gak paham maksud saya!"
Hermawan menahan pundak Silvy agar diam dan tenang, "coba kamu bicara yang jelas biar saya paham." Silvy mencebik, "saya tidak paham."
Silvy menarik napas dalam, "Bapak... Pernah nonton film... Dewasa?"
Hermawan terperangah, "kenapa kamu malah tanya hal seperti itu?"
"Bapak jawab aja."
"Saya menolak menjawab," kata Hermawan ketus.
"Kalau Bapak nolak jawab, berarti Bapak pernah nonton."
Hermawan mendelik, "saya tidak mau bahas hal itu, saya datang untuk bicara serius dengan kamu."
"Bapak gak mau bahas karena Bapak malu pernah nonton seperti itu, kan?" desak Silvy. Hermawan kukuh diam, "Bapak gak pernah cerita ke Bapak dan Ibu karena malu ada adegan itu nya, kan?" Hermawan melengos, memalingkan wajah ke arah lain, "Bapak malu cerita isi film, kenapa byapak gak malu cerita soal..." Silvy menggigit bibirnya.
Hermawan menoleh pelan, dia mulai paham dengan apa yang Silvy maksudkan.
"Astaga!" Hermawan terperangah, menatap Silvy terbelalak. Silvy mengangguk, kemudian menutup wajahnya lagi dengan tangan, "saya..." Hermawan kehabisan kata-kata, dia mengusap wajah, melirik Silvy yang kembali menunduk.
Hermawan duduk tegak, menatap ambang pintu menuju ruangan lain. Kenapa dirinya sampai tidak bisa berpikir tenang dan malah menceritakan semuanya pada Ibu dan Bapak. Pantas saja Silvy malu! Sekarang dirinya pun merasa malu! Bagaimana dia akan menghadapi Bapak dan Ibu?
Tapi kan tadi karena panik, takut Silvy pergi dan menghilang. Hermawan tertegun. Dia menoleh cepat pada Silvy dan meraih pundaknya, membuatnya terkejut. Hermawan menariknya agar duduk miring menghadapnya.
"Itu tidak penting, ada lagi yang lebih penting," Hermawan menatapnya serius, kemudian tatapannya melunak, "saya sungguh minta maaf, saya tidak bermaksud merendahkan kamu, saya mau kamu menikah dengan saya."
Silvy mengerjap cepat, "Bapak yakin dengan yang Bapak bilang tadi? Bapak sayang saya?"
Hermawan mengangguk mantap, "saya sayang kamu, saya tahu saya tidak bisa bilang hal seperti itu dari awal, tapi saya yakin saya sayang kamu, saya yakin saya ingin menikah dengan kamu."
Silvy menatap Hermawan tidak yakin, dia melepaskan tangan Hermawan dari pundaknya, "bagaimana kalau saya yang gak mau nikah sama Bapak?"
Hermawan terperangah.
"Bagaimana kalau saya yang gak sayang sama Bapak?"
Mata Hermawan semakin melebar, "kenapa kamu bicara seperti itu?"
Silvy menelan liurnya kesulitan, "Bapak gak jawab pertanyaan saya."
Hermawan berdiri dari duduknya, dia tidak pernah berpikir Silvy akan memberinya pertanyaan seperti itu, dia tidak pernah mempersiapkan diri jika sampai Silvy menolaknya.
Silvy ikut berdiri, "Pak," panggilnya, meminta perhatian, "bagaimana kalau saya menolak menikah dengan Bapak?"
Hermawan menoleh sekilas kemudian menggeleng, "saya tidak tahu, saya tidak menyangka kamu akan tolak saya."
"Sekarang Bapak tahu," kata Silvy pelan, "saya menolak menikah dengan Bapak. Bapak dan Ibu Pak Hermawan juga tahu saya tidak mau menikah dengan Bapak."
Hermawan menoleh terkejut, "Bapak dan Ibu tahu?"
Silvy mengangguk, "tadi Bapak dan Ibu tanya apa saja yang sudah Bapak lakukan ke saya, sampai Bapak mendesak untuk segera menikah. Saya beritahu Bapak dan Ibu kalau Bapak gak melakukan apapun, jadi saya boleh menolak keinginan Bapak."
"Bapak dan Ibu setuju kamu menolak saya..." kata Hermawan mengambang.
Silvy mengangguk lagi.
"Kenapa kamu menolak menikah dengan saya?"
"Saya tidak sayang Bapak," jawab Silvy mantap.
Hermawan terperangah. Itu penolakan yang sangat nyata, menyakitkan. Hermawan melangkah mundur, menatap Silvy tidak percaya.
"Maaf, pyak," Silvy mengangguk sekali, dan dengan kepala menunduk dia pergi dari sana, meninggalkan Hermawan sendiri.
Itu tadi... Hermawan menjatuhkan tubuhnya ke sofa, menatap tidak fokus pada lantai. Silvy menolaknya. Astaga! Silvy dengan jelas menolaknya.
Hermawan mengusap wajahnya, kemudian menunduk, ini tidak seperti dalam bayangannya. Hermawan kira semua akan berjalan lancar, Silvy tidak menolak dari awal, dia tidak protes saat dibawa bertemu dengan orang tua mereka.
Dia tidak keberatan tinggal dirumahnya.
Tapi ternyata, Silvy memiliki pikiran yang sangat berbeda dengannya. Jadi, sekarang harus bagaimana? Semua rencana sudah tersusun rapi di kepala Hermawan, sampai ke acara pernikahan dan bulan madu, bahkan ke kehidupan setelah bulan madu.
Hermawan sudah merencanakan semuanya. Tapi dia lupa, Silvy manusia, punya pikirannya sendiri, dan itu, tidak sesuai dengan pikiran Hermawan.
###