Hermawan menghentikan mobilnya di parkiran butik di depan mereka. Dia melepas seatbelt, keluar, memutari mobil, membukakan pintu untuk Silvy.
"Ayo."
"Pak..." Silvy memelas, memegangi seatbelt yang masih menahan tubuhnya, "ngapain ke sini?"
"Beli baju masa beli bebek."
Silvy mendengus geli di antara was-wasnya dengan tingkah semena-mena Hermawan. Sumpah! Itu lucu! Hermawan belum pernah sekali pun bercanda atau tertawa di kantor. Bicara asal jeplaknya itu membuat Silvy ingin terbahak, andai saja situasinya berbeda.
"Ayo, cepat!"
"Tapi, Pak..."
Hermawan menunduk meraih lengannya, menarik Silvy keluar.
"Aduh, duh, duh, Pak," protes Silvy, menahan tangan Hermawan, "tahan dong, Pak, seatbeltnya belum dibuka kan sakit badan saya."
Hermawan mendengus kesal, meraih seatbelt di perut Silvy, membukanya kasar kemudian menarik Silvy keluar, dia menutup pintu mobil menguncinya dan menyeret Silvy.
"Tunggu, Pak," Silvy meronta, menahan tangan Hermawan, "Pak..."
Hermawan mendadak berhenti, membuat Silvy otomatis berhenti juga. Hermawan menunduk, menatapnya.
"Apa lagi?"
Silvy menelan liurnya kesulitan, menatap ke arah pintu butik yang terbuat dari kaca, melihat pantulan dirinya yang kucel, celana olahraga kedodoran, kaos pas badan berwarna coklat pudar dan rambut diikat asal.
Masa masuk butik dengan tampilan seperti itu? Duh, yang bener aja dong.
"Pak," Silvy menarik lengannya dari tangan Hermawan, minta dilepaskan, "masa masuk ke sana?"
"Memangnya kenapa?" kata Hermawan nyolot.
Emosian banget sih! Silvy mengusap poninya memberi kode agar Hermawan ngeh dengan keadaannya yang kucel dan semerawut.
Hermawan mengernyit, kemudian memutar mata, menarik lagi Silvy membuatnya meronta. Dia mendorong pintu kaca dengan sikutnya menarik Silvy masuk, melewati baju-baju berjajar di manequin. Hermawan menyeretnya sampai mereka berdiri di belakang seorang wanita.
"Bu?"
Wanita itu menoleh, bibirnya yang dipoles lipstick berwarna oranye seketika menyunggingkan senyum, matanya melirik Silvy, memberi kode agar dikenalkan.
"Ini Silvy," kata Hermawan, "yang saya bilang."
"Oh?" Ulfa mengerjap, menatap Silvy turun naik.
Silvy tersenyum salah tingkah, malu diperhatikan intens seperti itu.
Wanita paruh baya itu mengulum senyum, menyodorkan tangannya, "saya Ulfa, ibunya Hermawan."
"Oh!" Silvy tersentak, melepaskan tangannya dari cekalan Hermawan, mengusap tangan kebajunya sendiri, kemudian menjabat tangan Ulfa, "saya Silvy, Bu, karyawan, eh, mantan karyawan Pak Hermawan."
Ulfa mengangguk, melepas jabat tangannya, "jadi?"
"Jadi?" tanya Silvy balik, menatap Hermawan dan Ulfa, bingung.
"Jadi, ya ini, Bu," Hermawan menunjuk kepala Silvy.
Ulfa mengangguk, menarik nafas dalam, melihat kesekililing butiknya, "mau yang seperti apa?"
"Dress batik saja, Bu, biar sesuai selera Bapak," jawab Hermawan.
Silvy menatap anak dan ibu itu bergantian, tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan, sampai Ulfa mengajak mereka berdua masuk lebih dalam, ke area yang terdapat cermin besar dari kepala hingga kaki.
![](https://img.wattpad.com/cover/150390361-288-k890805.jpg)