Hermawan memarkir mobilnya di carport, dia setengah berlari memasuki rumah, mendorong pintu dan hampir menyerebot memeluk Silvy saat melihatnya duduk di sofa panjang bersama Ulfa.
"Berhenti di situ."
Teguran keras Hendrik yang menghentikannya. Hermawan menoleh pada Hendrik, tatapan kesal Bapaknya membuat Hermawan menunduk.
"Duduk."
Hermawan mengangguk, mengambil tempat duduk di sofa single jauh dari Silvy.
"Bapak masih tidak habis pikir sama kamu..." Hendrik menjeda ucapannya, melirik Silvy yang menunduk dengan wajah merona dan Ulfa yang menggeleng kuat, meminta Hendrik tidak membahas itu di depan Silvy.
Hendrik mengangguk sekali menyetujui permintaan Ulfa, "Bapak sudah curiga dengan tingkah kamu yang tiba-tiba membawa orang tua Silvy ke rumah. Kamu yang selama ini diam dan acuh tak acuh, tiba-tiba mencetuskan ingin menikah. Bapak curiga pasti ada apa-apanya."
Hermawan mengangkat kepalanya, menatap Hendrik bingung, "ada apa-apanya?"
"Kamu memaksa Silvy menikah dengan kamu," kata Hendrik tegas, "Bapak dan Ibu tidak menuntut kamu untuk segera menikah, untuk apa kamu memaksa Silvy menikah dengan kamu? Kamu mau memanfaatkan kepolosan Silvy untuk memenuhi..." Hendrik mengatupkan mulutnya rapat, begitu pun Hermawan.
Dia tahu kemana arah pembicaraan Hendrik, dan itu menyinggung perasaannya, "tidak sedikit pun dalam pikiran saya ingin menikahi Silvy untuk tujuan seperti itu, Pak," Hermawan melirik Silvy yang masih menunduk, apa Silvy berpikiran seperti itu tentang niatannya menikah?
Dengan semua yang kamu lakukan padanya, kamu pikir apa yang harus dipikirkan Silvy?
Hermawan terperangah dengan pertanyaan dalam pikirannya sendiri, memang sepantasnya Silvy berpikir ke sana, setelah kejadian di kantor, yang dilakukannya pada Silvy memang selalu kontak fisik. Setelah setahun bekerja dan terus memarahinya, Silvy memang pantas berpikir jika Hermawan ingin menikahinya karena alasan itu.
"Saya tidak pernah berpikir ingin menikahi Silvy karena ingin merendahkan Silvy, Pak. Saya ingin menikahi Silvy karena saya sayang Silvy."
Hendrik memalingkan wajahnya tidak percaya, membuat Hermawan semakin tersinggung.
"Saya memang sungguh-sungguh sayang Silvy, awalnya memang saya tidak memiliki perasaan apa pun untuk Silvy, atau mungkin juga saya memang tidak menyadari perasaan saya sendiri, tapi setelah kejadian..." Hermawan mengatupkan mulutnya rapat.
Hendrik menatap tajam padanya dan Ulfa menatapnya penasaran.
"Setelah kejadian apa?" tanya Ulfa tidak sabaran, dia melirik Hendrik yang menggeleng pelan, melarangnya untuk terlihat kepo dengan cerita anak mereka, Ulfa mendengus pelan, "kejadian apa, Hermawan?" tanyanya gemas, melihat Hermawan yang juga terlihat tidak ingin melanjutkan perkataannya.
"Hermawan!" sentak Ulfa gemas.
"Saya cium Silvy di kantor," kata Hermawan cepat tanpa jeda.
Ulfa terkesiap menutup mulutnya, dia menatap Hermawan tidak percaya, lalu pada Hendrik yang menggelengkan kepala, lalu pada Silvy yang semakin menunduk.
"Itu tidak seperti yang Ibu bayangkan," kata Hermawan mencoba menjelaskan, "situasinya membuat saya harus melakukan itu."
"Harus melakukan itu?" tanya Hendrik penuh penekanan.
"Waktu itu..." Hermawan melirik Silvy yang masih kukuh menunduk, "Silvy nangis..."
"Kok bisa Silvy nangis?"
"Bu," tegur Hendrik.
Ulfa mencebik, tapi mengikuti teguran suaminya untuk diam.
"Saya marahi Silvy," lanjut Hermawan, "waktu itu saya tidak tahu kalau marah saya akan membuat Silvy menangis, saya tidak tahu cara menenangkan Silvy, jadi saya cium Silvy."
"Pfft," Ulfa menutup mulutnya dengan tangan menahan tawa geli.
Hermawan mengabaikan Ibunya, "waktu itu Silvy langsung pergi dan tidak ada kabar sampai berhari-hari, saya jadi merasa..."
"Bersalah," potong Hendrik, "dan kemudian kamu ingin menikahi Silvy dengan alasan itu?"
"Saya merasa aneh, Pak," Hermawan mengernyit merasakan kembali kekosongan dihatinya saat Silvy pergi... Yang ternyata hanya berdiam diri di kamar kostnya.
"Saya belum pernah merasa seperti itu sejak pertama kali melihat Silvy untuk test wawancara, saya merasa semakin aneh melihat Silvy yang dipekerjakan seenaknya oleh karyawan lain, saya juga merasa semakin aneh saat melihat kepolosan Silvy yang santai saja dimanfaatkan tenaga dan pikirannya oleh karyawan lain... Saya merasa aneh... Saya kesal dengan sikap Silvy, jadi saya memarahinya, saya tidak tahu kalau Silvy akan menangis... Jadi saya melakukan itu... Saya tidak tahu... Saya merasa semakin aneh setelah tahu Silvy meninggalkan surat pengunduran diri di pos satpam."
Hermawan menatap Hendrik dan Ulfa bergantian, "saya tahu kalau saya merasa kehilangan Silvy setelah tiga hari tidak melihatnya, saya sadar kalau kekesalan saya pada Silvy karena saya sayang Silvy dan ingin melindungi Silvy, saya juga sadar kalau marah saya adalah puncak sayang saya ingin melindungi Silvy, saya tidak bisa tidak bersikap adil pada semua karyawan, jadi saya ingin Silvy sedikit melawan, saya tidak bermaksud menyakiti Silvy."
"Kenapa kamu membawa orang tua Silvy ke rumah?" tanya Hendrik.
"Saya sadar kalau saya sudah jatuh pada Silvy," Hermawan melirik Silvy yang juga tidak mengangkat kepalanya, "saya tidak mau main-main, jadi saya putuskan untuk menikahi Silvy dan menuturkan niatan saya pada orang tua Silvy."
"Kanu tanya Silvy apa Silvy mau menikah dengan kamu?" tanya Hendrik tajam.
Hermawan mengatupkan mulutnya rapat dan menggeleng pelan, "saya tahu di situ letak kesalahan saya, saya takut ditolak Silvy jadi saya memutuskan semuanya sendiri."
Suara tarikan nafas Ulfa membuat Hermawan menoleh. Ulfa menepuk pundak Silvy, "Hermawan sudah bilang semuanya, sekarang terserah kamu, Bapak sama Ibu gak bisa nolong lagi."
Hermawan mengerjap.
Hendrik bangkit dari duduknya, "kalian harus bicara berdua, Bapak sama Ibu akan tunggu di ruangan sebelah," katanya penuh peringatan.
Hendrik mengangguk, dan Ulfa menepuk pundak Silvy sekali lagi, kemudian ikut berdiri dan meraih uluran tangan Hendrik, Ulfa menyempatkan diri menepuk pundak Hermawan sebelum keluar dari sana.
###