Hendrik berkacak pinggang. Hermawan duduk menunduk di sofa, dan Ulfa mondar-mandir dengan ponsel menempel ditelinganya.
"Tidak diangkat," kata Ulfa.
Hendrik menggeram pelan, melotot marah, "kamu tidak bisa tahan diri sedikit?" Hermawan semakin menunduk, "lihat sekarang akibatnya, Silvy tidak pulang ke rumah kamu, ditelpon juga tidak diangkat!"
"Sudah, Pak," pinta Ulfa, mengusap lengan suaminya agar tenang, dia mendelik pada Hermawan, "dimarahi juga percuma, sudah kejadian, kita fokus saja cari Silvy."
Hendrik menghela nafas geram kemudian keluar dari ruangan kerja Hermawan, Ulfa pun melakuka hal yang sama setelah melempar delikan tajam. Hermawan menarik nafas dalam mengusap wajahnya frustasi, dia berdiri dan mondar-mandir.
Memang salahnya hampir melewati batas, tapi Hermawan tidak tahu jika Silvy akan terkejut dan melarikan diri seperti itu. Hermawan meraih ponselnya di meja, menekan kembali nomor ponsel Silvy dan masih tetap tidak diangkat.
Hermawan menatap layar ponselnya yang perlahan meredup, sudah berapa puluh kali dirinya menelpon Silvy setelah kejadian tadi, dan tidak diangkatnya, membuat Hermawan khawatir sampai menyerbu kamar Ibu dan Bapaknya, mengatakan apa yang dilakukannya pada Silvy di ruang kerja tadi.
Membuat dirinya sendiri diperlakukan kasar oleh Ulfa dan Hendrik.
"Saya memang bodoh, Vy, tidak bisa tahan diri," Hermawan mengirim belasan pesan meminta maaf dan menanyakan keberadaan Silvy, namun gadis itu tetap tidak membalasnya.
Dengan desah putus asa, Hermawan meraih kunci mobilnya, memberitahu pada asisten rumah tangga mereka bahwa dia akan keluar mencari Silvy.... Kemana pun.
***
Hermawan geram, menekan klakson lagi. Kemacetan di Jakarta biasanya tidak mengganggu Hermawan, tapi kali ini.... Hermawan memukul stir mobilnya kuat!
Antrian kendaraan didepannya tidak mengular juga. Astaga!
Hermawan mengalihkan perhatiannya dari jalanan macet dengan mengambil ponsel dan menelpon Ulfa, tapi tidak dijawab, dia ganti menelpon Hendrik dan tidak diangkat juga. Mungkin mereka juga sedang mencari dan terjebak macet.
Hermawan menggulirkan jarinya pada nomor Silvy, dia kembali mendial nomor itu dan masih tidak diangkat juga. Hermawan melempar ponselnya ke dashboard.
Kemana gadis itu akan pergi jika memiliki masalah?
Hermawan melihat mobil didepanya mulai melaju, dia iuga ikut melaju, tapi baru beberapa meter, mobil kembali berhenti. Hermawan meraih ponselnya. Silvy pasti punya teman di Jakarta, atau setidaknya dia memiliki satu atau dua teman yang bekerja di kantornya. Dia melihat kontak telponnya, selain nomor Silvy dan beberapa top management, juga teman dekatnya, Hermawan tidak menyimpan nomor ponsel lain yang berkaitan dengan Silvy, kecuali Toto dan Ani.
Tidak mungkin Hermawan menghubungi orang tua Silvy dan membuat mereka panik. Tidak mungkin juga Silvy akan melarikan diri sejauh itu... Tapi mungkin saja.
Hermawan melajukan mobilnya saat antrian mobil didepannya kembali mengular.
Mungkin saja Silvy memang lari sejauh itu. Hermawan membawa mobilnya menuju terminal Kampung Rambutan. Hermawan merutuki kebodohannya, jika benar Silvy berniat pergi ke rumah orang tuanya... Itu benar-benar tidak aman untuk Silvy. Jam sudah menunjukan pukul delapan malam, jarak dari rumah menuju terminal lumayan jauh, belum lagi kemacetan yang akan menghadap transfortasi yang dipakai Silvy.
Gadis itu pasti akan sampai terminal pukul sembilan atau lebih. Benar-benar tidak aman untuk Silvy berjalan sendiri di sana. Hermawan memutar mobilnya masuk ketempat parkir.
Dia segera turun dan mengunci mobilnya. Berlari masuk kedalam, masih banyak penumpang yang mencari dan menunggu bus yang akan mereka tumpangi.Setidaknya Silvy tidak sendiri, tapi siapa yang tahu jika ada orang jahat dikumpulan orang itu. Hermawan melihat jadwal pemberangkatan bus menuju Lembang. Dia tidak menemukan naman bus dan daerah yang akan dituju.
Hermawan mendesah berat, dia berinisiatif mencari kelandasan, melihat satu persatu bus yang berjajar akan berangkat dan jajaran bus yang mesinnya bahkan masih mati. Dia naik turun bus dan tetap tidak menemukannya.
Hermawan memijat pelipisnya frustasi. Mungkin Silvy masih menunggu, Hermawan kembali mencari melihat-lihat wajah orang-orang yang sedang berdiri atau pun duduk disana.
Dia hampir frustasi saat mendapat satu ide.
"Kenapa tidak terpikirkan dari tadi."
Hermawan menggeram, dia berlari ke pusat informasi. Menanyakan nama bus dan jam pemberangkatan bus yang menuju atau pun lewat daerah Lembang.
Hermawan mendapatkan semua informasinya.
"Dua puluh menit yang lalu, Pak."
Pundak Hermawan merosot, jika Silvy benar pergi ke Lembang, dia pasti naik bus itu dan sekarang pasti sudah mulai keluar dari Jakarta.
Dengan tidak bersemangat Hermawan kembali ke mobilnya, dia pergi dari terminal, berjalan pelan melewati jalanan yang masih ramai. Dia juga tidak mengeluh saat mobil lain menglaksoninya di belakang, atau pun saat antrian mobil didepannya tidak mengular.
Hermawan mendesah, dia memarkir mobilnya di carport, jam sudah menunjukan pukul sebelas lewat, Silvy pasti sudah semakin jauh dari jangkauannya.
"Mas Hermawan."
Hermawan mengangkat kepalanya, asisten rumah tangga mereka menunggu di anak tangga terakhir menuju lantai dua.
"Kenapa, Mbak?"
"Ibu telpon katanya Mas Hermawan gak angkat telpon dari tadi."
Hermawan mengernyit. Dia meraba saku celananya, ponselnya ketinggalan di mobil.
"Iya, saya tidak pegang hape. Ibu dimana?"
Asisten rumah tangganya mengangguk, "Ibu belum pulang. Ibu minta Mas Hermawan pulang ke rumah Mas Hermawan."
"Ke rumah?" Hermawan mengernyit, kemudian terperangah, dia segera membalik badannya dan berlari kembali ke carport.
Ibu dan Bapak pasti sudah menemukan Silvy!
###