Kertas folio dan salinan CV berhamburan di kasur. Setelah ide menolak ajakan menikah Hermawan terlihat tidak berjalan lancar, Silvy memutuskan kembali ke kost, walaupun dihalangi Ulfa, Silvy tetap kukuh kembali ke kost. Masa tinggal di tempat orang yang tidak ada hubungan keluarga, seperti orang tidak tahu malu saja. Dan sekarang, Silvy harus kembali mencari kerja, seperti tujuan awal sebelum terjeda Hermawan.
Mama dan Bapak belum diberitahu perihal masalah yang terjadi di Jakarta. Mereka juga tidak menghubungi Silvy untuk bertanya kelanjutan rencana pernikahannya dengan Hermawan. Ulfa dan Hendrik juga tidak terlihat akan menghubungi orang tuanya untuk membicarakan kelanjutan rencana dadakan Hermawan itu.
"Vy."
"Iya."
Silvy berhenti menulis, dia bercermin sebentar, merapikan baju, kemudian keluar kost. Menghampiri Ulfa yang menjemputnya bersama Pak Tono, untuk bekerja di butik. Syarat Silvy boleh kembali ke kost, kerja di butik sampai mendapat pekerjaan baru.
Dia membantu Gladys di bagian pelayanan. Mereka bergantian, menerima pengunjung yang datang. Sampai waktu makan siang, pengunjung mulai berhenti datang.
Suara lonceng di atas pintu membuat Silvy segera berlari menghampiri.
Ternyata Hermawan.
"Vy."
Silvy kira bakal canggung, ternyata Hermawan bersikap biasa saja. Eh, lebih ramah dari waktu kerja di kantor deng. Lebih ramah dari kemarin-kemarin juga. Lebih manusiawi lah. Kayak kebanyakan orang.
"Ibu sama Gladys mana?"
"Ibu di dalam, Pak, Mbak Gladys lagi beli makan siang."
"Oh, saya masuk dulu kalau begitu."
Silvy mengangguk. Masih terpaku di tempat. Harusnya memang seperti ini, kan. Sapa sopan santun antara karyawan dan atasan. Karyawan dan anak atasan. Wajar Hermawan ramah ke karyawan Ibunya---
---tapi kok aneh.
"Kenapa, Vy?" Gladys kembali dengan bungkusan makan siang.
"Gak apa-apa, Mbak."
Gladys mengajak Silvy masuk, makan siang di meja belakang jajaran manequin. Mereka masih menyiapkan bungkusan saat Ulfa dan Hermawan menghampiri.
"Bakso buat Ibu sama Mas Hermawan," kata Gladys, menunjuk bungkusan kresek putih yang belum dibuka.
"Buat kamu aja."
Silvy terpaku. Kamu. Pak Hermawan bilang kamu ke Gladys.
"Mas Hermawan gak jadi makan siang?"
Mas Hermawan--, Baru kali ini Silvy mendengar orang lain, selain keluarga Hermawan memanggilnya Mas.
"Enggak, ada urusan mendadak. Pamit dulu, Bu, Vy."
Silvy mengerjap, "iya, Pak."
Selesai makan siang, mereka kembali bekerja. Pukul delapan malam, saat butik tutup, Hermawan yang menjemput Ulfa bukan Pak Tono. Gladys ikut numpang karena kebetulan harus mengambil bahan kain di toko yang mereka lewati, daripada buang waktu pakai ojek, Hermawan menyuruhnya ikut.
"Sekalian lewat."
"Ayo, Vy," ajak Ulfa.
Silvy menunggu, tapi Hermawan diam saja, duduk di balik setir tidak terlihat ingin mengajaknya.
Yang punya mobil aja keliatan bodo amat, masa sotoy numpang.
"Aku udah tanggung pesen ojek. Gak enak kalau dibatalin, Bu."
"Kok pesen ojek," protes Ulfa.
"Mau ke toko alat tulis dulu, lupa tadi gak ngasih tahu Ibu."
"Ya udah, nanti sekalian sama Hermawan dianterin."