(13)

388 56 3
                                    

"Silvy gak ngerti," tatapan Silvy melayang ke langit biru tanpa awan, pundaknya merosot tanpa tenaga, bibirnya menekuk ke bawah.

Dia melirik Ulfa yang duduk di sebrang meja, ekspresinya sama saja. Mereka duduk tanpa semangat di halaman belakang rumah Hermawan. Merenungi tingkah Hermawan yang tidak terlihat galau setelah melihat Silvy.

Habis di tolak harusnya salting, kan? Marah-marah kek, nangis kek, apa kek yang ada ekspresinya dikit! Masa cuma lempeng aja kayak tembok!

"Hermawan gak mungkin tahu kan kalau yang kamu tolak itu bohongan, Vy?"

"Hm..."

Pikiran Silvy kembali ke beberapa hari lalu, ke kejadian dia melarikan diri dari ruang kerja Hermawan.

Ya ampun, memalukan... Padahal umurnya sudah bisa disebut dewasa tapi dicumbu begitu saja langsung melarikan diri.

Saat itu, Silvy lari keluar dari rumah, Pak Tono, supir Pak Hendrik mencegatnya karena khawatir, dia juga yang mengantar Silvy kembali ke kost, tapi karena macet, di jalan jadi lama. Dan saat mengecek ponsel yang di simpannya dalam mode silent, ternyata banyak panggilan masuk dari Hermawan dan orang tuanya. Karena takut terjadi masalah besar lagi. Dia berencana kembali ke rumah Hendrik, dan saat keluar kamar kost ternyata Pak Tono masih ada di sana, berencana mencarinya lagi.

Menjelaskan jika Hendrik menelponnya, mencari mobil untuk mencari Silvy.

"Tadi saya juga lupa tidak bilang Bapak dan Ibu waktu antar Mbak Silvy."

Silvy tersenyum garing. Nah, kan. Sudah akan terjadi masalah besar lagi.

"Kita ke rumah Pak Hendrik, Pak?"

"Enggak, Mbak, Bapak tadi minta saya antar Mbak ke rumah Mas Hermawan."

"Oh, iya."

Dan karena masih macet, perjalanan pulang mereka juga tetap lama. Saat sampai, Ulfa dan Hendrik sudah menunggunya di depan rumah. Ulfa segera memeluknya saat Silvy menghampiri mereka. Membawanya masuk. Pak Hendrik masih di luar, bicara dengan Pak Tono yang meminta maaf sudah teledor dan membuat kepanikan. Silvy mencebik, padahal salahnya, tapi Pak Tono juga jadi minta maaf.

Ulfa belum bicara apapun sampai Hendrik masuk ruangan duduk di samping Ulfa yang masih kukuh merangkul Silvy menenangkannya.

Pak Hermawan bicara apa sampai kedua orang tuanya bersikap seperti itu.

Mereka menunggu, ART rumah menata teh hangat di meja, setelah itu Ulfa memaksa Silvy minum dulu.

"Kamu lama di jalan, bolak-balik gitu, pasti dingin, minum dulu biar anget."

Silvy menurut, setelah ini mereka pasti akan bicara serius.

"Vy," nah, benar, baru juga Silvy meletakan gelas di meja, Hendrik langsung memanggilnya.

"Iya, Pak?"

"Kenapa pulang ke kost?"

Eh? Silvy menatap Ulfa dan Hendrik. Mereka tidak terlihat memaksa tapi jelas menunggu Silvy cerita. Hermawan pasti sangat panik dengan kepergiannya, jika sampai Hendrik dan Ulfa mencarinya juga.

"Sekarang keselamatan kamu di Jakarta jadi tanggung jawab Bapak dan Ibu. Amit-amit, kalau ada apa-apa, gimana Bapak dan Ibu jawab Mama dan Bapak kamu nanti," jelas Hendrik lagi.

"Itu, gak apa-apa, Pak. Mau pulang aja sih," Silvy tersenyum gugup. Ya kali bilang kabur dari Hermawan, malu lah.

"Vy," sekarang giliran Ulfa, "Ibu boleh tanya?"

Dia mengangguk.

"Sebenarnya, kamu mau nikah sama Hermawan?"

Silvy tidak menjawab, dia terdiam lama. Membuat Hendrik mendengus kasar.

"Sudah pasti, Hermawan biang keladinya."

Ulfa tidak berani bicara lagi, begitu juga Silvy.

"Nak Silvy jujur saja pada Bapak, ceritakan semuanya. Tanggung jawab Bapak kalau Hermawan melakukan kesalahan. Bapak yang hukum."

Ulfa mengangguk, kalau begini, Silvy menyimpulkan jika Hendrik tidak tahu apa-apa, sedangkan Ulfa tahu semua ceritanya.

"Tidak perlu takut, jika dasarnya salah, kita harus perbaiki, pernikahan bukan main-main. Harus jelas tujuannya."

Itu dia, Silvy juga tidak tahu tujuan Hermawan memaksa ingin menikah dengannya. Selain alasan suka, takut Silvy menghilang, dan apalah itu, semua yang dikatakan Hermawan tempo hari. Setelah dipikir lagi. Kenapa Silvy juga mau diajak menikah setelah mendengar alasan-alasan yang diberikan Hermawan, padahal Silvy masih tidak paham dan tidak merasakan apa-apa pada Hermawan.

"Vy," bujuk Hendrik lagi.

Silvy mengangguk. Menceritakan semuanya, dari mulai Hermawan yang tiba-tiba datang ke kost-nya, membawanya ke butik Ulfa tanpa menjelaskan kenapa, sampai di ajak ke rumah dan diberitahu jika Hermawan mengajak orang tuanya ke sana untuk melamar Silvy.

"Cah gemblung," Hendrik menahan umpatan kasar lainnya. "Tidak salah kamu berpikir Hermawan nafsuan."

"Pak," tegur Ulfa dan Silvy kaget.

Hermawan cerita apa, sampai Hendrik bicara seperti itu. Silvy menatap Ulfa, bertanya apa yang Hermawan katakan, dan Ulfa mengangguk.

Serius???

Ulfa mengangguk lagi.

Aduuuh! Silvy menutup wajahnya malu. Pak Hermawan diam-diam sok iya, tapi kok polosnya kelewatan!

"Kalau sudah begini, Bapak jujur saja, kalau kamu mau memutuskan untuk menolak Hermawan dan membatalkan semuanya, Bapak tidak akan keberatan--,"

"Pak," protes Ulfa, yang langsung diam setelah mendapat tatapan tegas dari suaminya.

"--jika Hermawan melakukan hal di luar nalar lagi, biar Bapak yang hadapi."

"Kamu pikirkan dulu baik-baik, tidak ada tekanan dari Bapak dan Ibu," kata Ulfa.

Mereka tidak bicara lagi, juga tidak memaksa Silvy. Mereka duduk di ruang tamu rumah itu, menikmati camilan malam.

"Kamu belum hubungi Hermawan, Vy?"

Silvy menggeleng. Eh?! Dia baru sadar. jika Hendrik dan Ulfa bisa sepanik itu, bagaimana dengan Hermawan?

"Pak Hermawan cari aku juga, Bu?"

"Iya, tapi gak tahu nyarinya kemana."

"Pak Hermawan beneran cerita semuanya?"

Ulfa tersenyum kasihan, "iya."

"Gak apa-apa," kata Hendrik, "daripada kita tidak tahu apa-apa, dan kamu stress sendiri. lebih baik begini."

Tetap saja, malu.

Setelah menghabiskan camilan dan menonton televisi, suasana menjadi lebih tenang, dan perasaan Silvy juga lebih ringan. dia siap bicara dengan Hendrik dan Ulfa.

"Silvy mau menikah dengan Pak Hermawan, tapi Silvy mau tahu sebenarnya apa yang dipikirkan Pak Hermawan."

Hendrik mengangguk, terlihat jelas sedang berpikir. Silvy dan Ulfa menunggu, sampai Hendrik akhirnya mengangguk.

"Bapak ada ide, hubungi Hermawan, Bu."

Dan ya begitulah jadinya. Hendrik menginterogasi Hermawan yang super polos, nyebelin, kaku, gak handal mengekspresikan perasaan. Paling nyebelin pokoknya.

"Apa Ibu hubungi Bapak ya, minta ide lain."

Silvy meluruskan duduknya, "gak usah dulu deh, Bu, kita jalanin ini aja dulu, ganti-ganti ide nanti malah aneh."

Ulfa ikut meluruskan duduknya, "tapi kamu jangan khawatir ya, Vy. Hermawan gak akan mungkin batalin sukanya sama kamu. dia kalau sudah suka ya ngebucin, gak mudah nngelepasin."

Tapi Silvy jelas menolak Hermawan, bagaimana kalau itu membuatnya menyerah dan mundur.

Bentar, bentar. Kok jadi aku yang galau???

###

MengikatmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang