"Kamu, aja, Vy," bisik Ulfa.
"Kok saya, Bu? Nanti ketahuan dong," balas Silvy, berbisik.
Mereka berjongkok, membuka sedikit pintu kamar Hermawan, mengintip dan berbisik-bisik.
"Ya gimana lagi, Ibu gak tega anak Ibu gak makan berhari-hari..."
"Emh... Apa Silvy bilang aja kalau kemarin bohongan..."
"Eh, jangan!" cegah Ulfa cepat, "nanti gak keliatan seberapa seriusnya Hermawan sama kamu. Ibu juga penasaran sih, pengin tahu kalau Hermawan patah hati itu kayak gimana..."
Silvy melihat bayangan di belakang Ulfa, dia memiringkan sedikit kepalanya, dan seketika terbelalak.
Ya ampun! Silvy menatap Ulfa horror, tapi Ibunya Hermawan itu tidak berhenti bicara.
"...dari jaman abg Hermawan dingin sama perempuan, sampai-sampai yang naksir dia yang malah pada main ke rumah dulu, tapi tetap aja dia biasa aja..."
Silvy melirik lagi ke belakang tubuh Ulfa, sosok di belakang Ulfa menatapnya tajam, Silvy tidak bisa bergerak, punggungnya mentok di dinding dan kakinya kebas, dia ingin mencolek Ulfa agar berhenti bicara, tapi tangannya mendadak kaku.
"...malah seringnya ngurung diri di kamar, baca buku sama main komputer sampai matanya minus banyak..."
Mata Hermawan minus? Oke, itu informasi penting——
"... Ibu sampai marahin dia waktu itu, kalau dia pakai kacamata nanti gak ada perempuan kece yang naksir dia lagi, eh tetap aja dia dingin sama perempuan, sampai kemarin itu bilang mau nikah, duuh Ibu kaget banget, kirain Hermawan mau bawa laki-laki ke rumah, Ibu was-was ternyata ngenalin kamu..."
——tapi sosok di belakang Ulfa merendahkan tubuhnya, kemudian ikut jongkok bersama mereka. Menatap Silvy tanpa berkedip, Silvy berusaha melirik Ulfa dan memberitahunya jika...
"Ibu kira saya gay?"
Ulfa seketika menoleh dan terbelalak, "Hermawan?" Ulfa menatap Silvy yang sudah sekaku patung dan pintu kamar yang dipegangnya bergantian.
Hermawan menatap Ulfa dan Silvy bergantian.
"Ibu..."
"Ya ampun, Vy!" suara Ulfa melengking, memotong Hermawan, dia segera berdiri, menarik serta Silvy, mengedipkan matanya berkali-kali agar Silvy ikut berpura-pura bersamanya, "kamu mampir ya ke sini? Ada yang ketinggalan? Baju kamu? Sepatu? Tas? Make up? Atau apa?"
Hermawan ikut berdiri, menatap Silvy dan Ulfa yang tersenyum panik.
"Ternyata Ibu salah kamar ya, ini kamar Hermawan, ke kamar sebelah berarti, Vy..."
Ulfa memberi kode dengan matanya untuk melarikan diri, Silvy mengangguk pelan. Namun sebelum mereka melangkah, Hermawan menghalangi mereka.
"Wan," Ulfa menegur panik, "ini Silvy lho, mau ambil barang ketinggalan, bisa geser sedikit?"
Hermawan bergeming, dia menatap Silvy yang salah tingkah dan berusaha memalingkan wajah ke arah lain, berusaha mengabaikan tatapan Hermawan.
"Wan," kata Ulfa lagi.
Hermawan menatap Ulfa, kemudian pada Silvy dan dia memberi mereka jalan, "kamar kamu sudah dibereskan bibi, coba tanya bibi, mungkin bibi simpan barang kamu yang ketinggalan."
Silvy dan Ulfa saling lirik.
"Permisi saya harus ambil barang di kamar."
Silvy dan Ulfa seketika memberi jalan, Hermawan masuk kamar, dan mereka ikut melongokan kepala mereka di ambang pintu. Hermawan memang mengambil sesuatu dari meja lacinya kemudian keluar lagi, dan turun ke lantai bawah.
"Untung Hermawan gak curiga..." kata Ulfa, menarik napas lega.
Silvy tersenyum kecil, kok Pak Hermawan biasa aja?
"Vy," tegur Ulfa, "kenapa?"
Silvy menggeleng, "gak apa-apa, Bu."
"Ayo turun, lihat Hermawan kemana, sekalian mau tegur bibi, tadi bilangnya Hermawan di kamar, tapi ternyata di luar."
Silvy tidak mengikuti Ulfa yang langsung turun ke bawah, dia memilih duduk di sana.
Pak Hermawan gak patah hati ya? Tapi kata bibi Pak Hermawan gak nyentuh nasi berhari-hari.... Silvy mengernyit, siapa tahu Pak Hermawan lagi diet carbo, bukan galau karena patah hati!
"Vy?"
Silvy menoleh, dia terperangah dan langsung berdiri.
"Pak Hermawan."
Hermawan mengangguk, "ketemu barangnya?"
"Barang?" Silvy melirik ke sana kemari salah tingkah, "itu... Lagi ditanyain sama Ibunya Bapak ke bibi, eh, aduh, saya kok malah biarin Ibu turun ya, harusnya kan saya yang tanya sendiri, sa-saya turun dulu ya, Pak."
"Vy," cegah Hermawan, membuat Silvy urung pergi, "bisa duduk sebentar? Saya ingin bicara."
"Bi-bicara? Bicara apa, Pak?"
Hermawan mengerdikan dagu, menyuruh Silvy kembali duduk. Silvy menelan liurnya kesulitan namun menurut juga. Dia duduk tegak dengan kepala menunduk dan mata melihat kesana kemari panik.
Duuh, Bu Ulfa mana sih?!
"Vy..."
"Iya, Pak?" Silvy menegakan duduknya, menatap Hermawan panik. Melihat Hermawan duduk bersandar dan kaki terlipat. Kok santai banget ya? Ini lagi duduk depan-depanan sama perempuan yang nolak nikah sama Bapak lho!
"Barang apa yang ketinggalan?"
"Eh?" Kok tanya itu siih?
"Barang apa yang ketinggalan?" ulang Hermawan.
"Emh.. Itu..." Silvy gelagapan, "ikat rambut saya kayaknya ketinggalan, ini makanya saya gak ikat rambut, haha," Silvy menarik sejumput rambutnya, menunjukan pada Hermawan dan tertawa garing.
Hermawan tersenyum kecil.
Kok senyum sih... Silvy duduk salah tingkah, "Bapak mau bicara apa?"
Hermawan menggeleng, "saya cuma mau kamu lihat saya."
"Hah?" Silvy melongo.
Hermawan berdiri, bersamaan dengan Ulfa yang kembali naik.
"Vy?"
"Saya pergi dulu, Bu." Ulfa mengerjap bingung, memberikan tangannya untuk dicium Hermawan. Dengan satu senyum kecil lagi, Hermawan pergi dari sana.
Ulfa mengerjap cepat, "kamu ngobrol sama Hermawan?"
Silvy menatap Ulfa kemudian melihat kepergian Hermawan.
Di ambang pintu, Hermawan berhenti, dia melihat ke atas dan tersenyum lagi.
Silvy melenghos, "Bu.. Kita yang lagi bohongin Pak Hermawan, atau Pak Hermawan yang lagi bohongin kita sih?"
"Hah?" Ulfa menatap ke bawah dan pada Silvy bergantian. Bingung deh.
###
