Udara panas menghembus dari pernapasan Silvy, dia merasakan panas di sekujur tubuh, dan dingin di keningnya. Silvy perlahan membuka mata. Pemandangan orang di depannya, membuat Silvy tersentak bangun, sampai kompres di keningnya jatuh.
"Bapak!" Silvy memeluknya erat, "ini bukan mimpi, kan?!"
"Kalau kamu pikir saya Bapak kamu, ya berarti ini mimpi."
Khas Hermawan sekali. Silvy mencebik, tapi tidak melepaskan pelukannya, Hermawan juga tidak mendorongnya menjauh.
"Tiduran lagi, Vy."
"Enggak," tolaknya.
"Kepergok Ibu, nanti saya yang disalahkan."
Iya, nanti Hermawan lagi yang disalahkan. Silvy mengurai pelukannya, sedih, dia kembali tiduran. Hermawan menempelkan lagi kompres di keningnya, kembali membaca instruksi yang tertera di kemasan obat. Silvy menatapnya, Hermawan tetap dingin seperti kemarin-kemarin.
"Kenapa?"
Silvy mengerjap, ternyata Hermawan balas melihatnya. Silvy menggeleng.
"Udah bangun?"
Mereka melihat Ulfa membuka gorden kamar.
"Sudah."
Hermawan berdiri, memberi ruang untuk Ulfa duduk.
"Aduh, Vy," tegur Ulfa, "kamu sakit kok gak bilang? Ibu sampai panik tadi ketuk-ketuk pintu gak ada yang buka, nelponin kamu juga gak diangkat. Untung tadi ada Ibu kost kamu, jadi bisa minta izin dobrak pintu."
"Dobrak pintu?"
"Iya, kan gak ada kunci cadangan. Jadi habis ini kamu pindah ke rumah Ibu, biar ada yang urus."
"Itu... gak usah, Bu."
"Udah ah, kamu dari kemarin segala gak usah, jadinya kan gini nih sakit."
Silvy hendak memprotes lagi, tapi Ulfa mengibaskan tangannya tidak ingin dibantah.
"Wan, ini Silvy suapin bubur dulu, Ibu harus telpon Gladys, biar hari ini libur aja, daripada dia kerja sendiri."
Ulfa keluar dari kamar, ruang di samping Silvy diisi Hermawan. Dia meraih mangkuk bubur di samping tempat tidur.
"Aku bisa sendiri kok, Pak."
Hermawan menatapnya tegas, membuat Silvy kembali diam. Menerima saja saat Hermawan menyodorkan sendok ke hadapannya. Hermawan tidak bicara, fokus menyuapi Silvy sampai bubur di mangkuk habis setengah.
"Udah."
Hermawan menyimpan mangkuk, menyodorkan gelas berisi air hangat dan obat penurun panas, yang diterimanya dengan patuh. Setelahnya, Hermawan menarik selimut hingga menutupi leher Silvy.
"Tunggu sebentar, kalau Ibu sudah selesai bicara dengan Ibu kost, saya antar ke rumah Ibu."
"Gak usah--"
Tapi Hermawan tidak mendengarkannya. Dia melengos keluar dari kamar. Silvy mencebik sedih, tidak enak tidak diacuhkan Hermawan. Setelah persoalan dobrak pintu selesai dibicarakan dengan Ibu kost dan orang yang akan mengemasi barang-barang Silvy datang, Hermawan menelpon Tono untuk menjemput Ulfa dan Silvy.
Saat keluar dari kamar, Silvy bisa melihat pintu kamarnya rusak di bagian engsel.
Siapa yang mendobrak pintu sekuat itu?
Silvy melihat Hermawan bicara dengan anak Ibu kost yang waktu itu pernah ikut Ibu kost menegurnya. Mereka bicara dengan sangat serius. Seolah yang dibicarakan lebih dari pintu rusak.
