(3)

3.4K 447 18
                                    

Silvy memesan citrus squash, hanya itu, walaupun Hermawan mendesaknya untuk memesan makanan yang lebih berat. Silvy kukuh menolak. Yang diperlukannya saat ini hanya minuman dingin yang bisa menenangkan saraf-saraf di kepala dan debaran jantungnya yang berdetak tidak karuan.

Was-was dengan apa yang akan dibicarakan Hermawan. Skandal dan orang tua itu dua hal yang tidak boleh disatukan dalam satu kalimat. Mengerikan.

Hermawan membuka sedotan di samping gelas memasukannya ke gelas Silvy dan mendorongnya mendekat, "minum."

"Nanti."

"Minum Silvia," suruh Hermawan penuh penekanan.

Silvy merengut, menarik sedotan, menyesap sedikit, kemudian mendorong gelas itu menjauh, "sudah."

Hermawan paling tidak suka dengan perempuan yang merajuk, sulit untuk ditebak apa maunya. Dibaiki salah, dikasari salah, apalagi tidak diperhatikan.

"Pak," tegur Silvy tidak sabaran, "Bapak ngapain ke rumah saya?"

"Cari kamu."

Silvy menciut, "Bapak semarah itu ya, Pak, sama kejadian..." Silvy merasa kerongkongannya kembali mengering, melihat Hermawan mengatupkan bibirnya dan menatap Silvy tajam, "saya kan udah ngundurin diri, Pak."

"Dan kamu pikir itu sebuah jalan keluar?" tanya Hermawan geram. Bagaimana bisa gadis didepannya mengambil keputusan sendiri tanpa merundingkan lebih dulu dengannya, padahal jelas masalah itu mengaitkan mereka berdua.

"Memang itu jalan keluar, kan?" Silvy menarik nafas dalam, "dengan keluarnya saya, gossip miringnya kan jadi udahan juga..."

Hermawan mendengus.

"Saya melakukan itu demi kebaikan bersama kok, Pak."

"Kebaikan bersama?" tanya Hermawan sarkastis, "bukannya demi kebaikan kamu sendiri? Menyelesaikan masalah dengan melarikan diri?"

Silvy menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, "iya gitu sih..."

Hermawan menggeram, tangannya melebar melewati meja meraih lengan Silvy menariknya mendekat ke meja, membuatnya mengaduh, "kamu pikir setelah..." Hermawan mengatupkan giginya, menatap Silvy kesal, "...setelah kejadian tempo hari, dengan kamu yang melarikam diri, saya jadi baik-baik saja?"

"Bapak sakit?!" Silvy terperangah, menatap wajah Hermawan lekat, "Bapak masuk angin ya bolak-balik Lembang-Jakarta?"

Hermawan meremas kedua tangannya di depan wajah Silvy geram, seolah-olah ingin meremas wajah gadis itu, membuat Silvy mengerut ngeri.

"Saya mau kamu cuci muka, dandan dan pakai baju yang Ibu saya berikan, kemudian ikut saya!" tandas Hermawan seraya berdiri, melengos pergi.

"Pak!" tahan Silvy, dia ikut berdiri, berlari kecil mengejar Hermawan yang sudah lebih dulu keluar dari cafe, "Pak, Pak, kok ambekan sih? Katanya mau bicara? Kok Bapak malah pergi?"

Hermawan berhenti mendadak, membuat Silvy menabrak punggungnya, "aduh," keluh gadis itu, memegangi keningnya, "Bapak kalau mau berhenti bilang-bilang dong, Pak!"

Hermawan memutar mata jengah, melanjutkan langkahnya kembali ke butik ibunya.

"Udah, Wan?" Ulfa bertanya tepat setelah pintu kaca di belakang Hermawan tertutup.

"Belum."

"Kok belum?" tuntut Ulfa.

"Susah, Bu, dia..." Hermawan tidak melanjutkan bicaranya, pintu butik itu terbuka, dan Silvy muncul dengan senyum salah tingkah, mengangguk pada Ulfa.

Hermawan melengos, melemparkan tubuhnya ke sofa tunggu yang ada disana. Ulfa mengulum senyum geli.

"Vy, ikut Gladis ke belakang ya?"

MengikatmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang