Penghianatan mungkin saja bisa terlupakan dengan berjalannya waktu, tapi sakitnya tidak akan benar-benar bisa hilang
__________________________Tatapanku terpaku pada gapura yang berdiri angkuh di seberang jalan. Tak ada ucapan selamat datang terukir di sana. Terlalu biasa untuk ukuran gapura yang berada di pinggiran kota. Pemandangannya pun tidak jauh berbeda dengan dua belas tahun silam. Di sisi kirinya masih berdiri sebuah rumah berdinding papan kayu meranti. Beberapa bagian dari dinding, berlubang karena lapuk dilahap masa. Daun nangka yang gugur, memenuhi bale-bale yang terbuat dari kayu sisa-sisa penggergajian yang diletakkan di depan rumah. Sedangkan di sisi kanan gapura penuh oleh tanaman pisang kepok yang memberi kesan menyeramkan saat sore ini.
"Tuntutlah ilmu setinggi mungkin, jadilah orang sukses. Ketika kalian sukses, kembalilah ke kampung Redan. Tuangkan ilmu yang kalian dapat untuk kampung ini. Ubah agar tidak terbelakang lagi," pesan bapak dahulu kepada kami anak-anaknya.
Mengenai desa Redan, sebenarnya letak desa ini hanya berjarak lima belas menit dari kota yang dijuluki kota taman dan empat puluh lima menit dari kabupaten yang memiliki icon burung Ranggong Badak.
Daerah ini kaya akan emas hitam. Kata bapak, semenjak ia memutuskan menetap di desa ini sekitar tahun 1992, belum pernah ada satupun perusahaan tambang yang gulung tikar karena kehabisan emas hitam. Namun tetap saja, perusahaan-perusahaan itu tidak memberikan banyak perubahan bagi pembangunan di desa Redan.
Hari sudah hampir gelap, ketika netraku tertumpu pada pohon beringin di tikungan jalan. Daun rimbunnya memayungi hingga keseberang jalan, helai-helai akar terjuntai kebawah menyentuh tanah, ranting-rantingnya seperti mangkuk sup terbalik yang siap menampung hujan yang jatuh dari langit.
Dahulu, dengan mengendarai sepeda ontel tua bekas, yang bapak dapat dari pembuangan sampah di pinggir kota, setiap hari beliau akan mendorong aku dan dua karung berisi bayam juga cemangi di boncegan belakang, menuju jalan poros yang berjarak dua kilometer, untuk menunggu pedagang langganan kami di bawah pohon itu.
"Suatu hari nanti, kamu akan membawa bapak naik mobil seperti itu, Ling." Tunjuk bapak pada sebuah mobil mewah yang lewat.
"Mobilnya mahal nggak, Pak? Kalau mahal, Aling nggak punya uang, Pak." Saat itu dua sudut bibir bapak tertarik ke atas ketika mendengar celotehku.
"Bukan sekarang, Ling. Nanti, kalau Aling sudah besar, sudah jadi orang sukses. Kalau sekarang kan, masih kecil. Masih suka nangis di tengah malam cari mamak, kan?"
"Aling suka nangis tengah malam, soalnya sering mimpi buruk. Mimpi Bapak ninggalin Aling, Mamak, Kak Tera, Kak Min, Kak Alfi dan Kak Syahrin." Aku tidak menyangka di usiaku yang ke 17 tahun aku benar-benar kehilangan bapak. Sudut mataku berembun mengingat percakapan antara kami dahulu.
Berbicara tentang bapak, mungkin aku tidak akan punya cukup perumpamaan untuk menggambarkan bagaimana hebatnya beliau, aku mengaguminya, sungguh. Badan kurusnya seakan tidak mengenal lelah di bawah terik panas matahari mengairi sawah dan mencangkul tanah di kebun untuk ditanami berbagai jenis sayuran.
Pagi, siang, petang tak ia perdulikan, hanya akan benar-benar beristrahat ketika ingin menunaikan ibadah salat. Setelahnya, ia akan lebih banyak menghabiskan waktu di ladang.
Aku sangat menyayangi bapak. Andaikan waktu bisa kembali tentu aku hanya akan mencintai satu pria dalam hidupku, dan itu adalah bapak. Begitu banyak kenangan indah di desa ini, kenangan bersama bapak, namun semua terhapus oleh kenangan pahit yang diukir seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANYELIR KUNING
RomanceANYELIR KUNING (TAMAT) "Mari kita bahagia, bahagia dengan tidak bersama. Aku membencimu sampai-sampai setiap sendi dalam tubuhku seakan terbakar ketika melihatmu," kataku. "Jangan lupa! Dalam tubuh seseorang... Mengalir darah kita berdua, darahku da...