Kukira telah sampai di ujung pelangi
Angkuh petik satu warna
Merah jambu kesukaanku.Lupa pada buta malam
Hitam yang kubawa pulang
Tuai derita tak kenal musim.______________________________
Dentuman musik selimuti desa, empat orang biduan berlenggak ikuti irama, satu di antaranya pria gemulai. Pemuda dewasa itu bergerak lincah lagi lentur, bak belut diangkat dari penangkaran.
Dunia telah tua, pria melambai dan berlakon wanita sedang naik daun. Saat melihat pertama kali, aku menggidik ngeri sembari mengelus perut, tak henti rapalkan 'amit-amit'.
Di gerbang masuk pelaminan, barisan gadis muda berseragam hijau berdandan tebal lempar senyum. Bukan padaku, tapi pada para undangan yang baru tiba.
Beberapa tamu datang berpasangan lalu malu-malu ketika melewati barisan pagar ayu, apalagi mereka yang berstatus bujangan. Lainnya santai terkesan akrab. Aura bahagia menguar kental terasa.
Fokusku jatuh pada biduan di depan sana, ia terlihat senang mendapatkan saweran uang bergambar Tuanku Imam Bonjol dari salah satu tamu pria. Bukan main aduhai goyangannya sebagai tanda terimakasih.
Mataku masih menikamati hiburan yang disajikan ketika Ramlah menyeretku mendekati tenda berhias janur kuning yang terpisah dengan panggung hiburan.
Tidak terlalu dekat, namun cukup untuk melihat sang mempelai dari jarak ini.
Tunggu di sini, nurut kalau dikasih tahu.
Jangan susah makan! Ada anak kita di perutmu.
Jaga kesehatan, vitamin dari Dokter dihabisin!
Jangan manja.
Dengar kata Mamak dan Bapak!
Susu hamilnya diminum!
Mau oleh-oleh apa?Kilasan pesan Yusuf padaku minggu lalu menari. Kupikir ia sedang sakit kepala sekarang ini menghadapi validator yang tidak ingin ada kesalahan. Kukira seminggu lagi ia akan kembali membawa buah tangan gelas keramik dan baju bertulis dan berlogokan perusahaanya.
Namun....
Pria yang memamerkan lesung pipi di pelaminan sana berhasil menguras habis darah di tubuhku. Jika saja tak ada detak dari dadaku, aku mungkin mengira telah mati.
Tulang belulangku terasa dilucuti. Paru-paruku beberapa saat berhenti memompa udara. Aku sulit bernapas. Sumpah, ini sesak.
Hampir jatuh jika saja bambu yang menjadi bahan dasar baruga pernikahan tidak cukup kuat menopang tubuh. Cepat Ramlah membantu, matanya memerah, tak mengatakan apapun kutahu ia rasakan sesaknya hantaman khianat Yusuf padaku.
Kepalaku pening, bahkan jarum tak kasat mata mulai menusuk-nusuk dari dalam.
Yang kutahu adalah dadaku kebas, jadi kuremas sambil memukul-mukul. Tapi, linunya tak berkurang. Aku ingin mati saja.
"Ayo kita pulang," lirihku tertatih menarik tangan Ramlah menjauh.
Ini pasti mimpi
"Apa kamu, tolol?" bentak Ramlah melirik tanganku yang gemetar. "Naik! Dan tarik Yusuf pulang!" sambungnya.
Mengeleng kencang, menolak perintah Ramlah. Aku takut tak akan terbangun dari mimpi mengerikan ini.
Mataku berkaca.
Aku bermimpi, tenang saja sebentar lagi terbangun.
Ada yang menyentak tanganku.
Siapa?
Ah, Ramlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANYELIR KUNING
RomanceANYELIR KUNING (TAMAT) "Mari kita bahagia, bahagia dengan tidak bersama. Aku membencimu sampai-sampai setiap sendi dalam tubuhku seakan terbakar ketika melihatmu," kataku. "Jangan lupa! Dalam tubuh seseorang... Mengalir darah kita berdua, darahku da...