"Kau memberinya harapan, Ling." Itu kalimat yang Yusuf katakan padaku saat Langit anaknya hilang di balik pintu meninggalkan kami berdua dengan pikiran masing-masing.
Aku menoleh, tersenyum sekilas lalu kembali membuang muka pada jendela yang membingkai persawahan di luar sana. "Bukankah putramu itu beruntung? See, aku memberi harapan, alih-alih mematahkannya," ucapku acuh. Dasar Yusuf, pria teregois di muka bumi, bukannya berterimakasih malahan mencecarku.
Yusuf mendekat, tangannya yang kokoh mencengkeram kuat lenganku, pupilnya membesar sarat kemarahan.
"Apa?" geramku mendelik menahan sakit. "Bisa lepas? Kau menyakitiku," benci disentuh dia, seperti sedang menghianati mas Sayhan rasanya.
"Sumpah mati, Ling. Kamu akan meremukan hati Langit!" Mataku memutar bosan. Lebay, cibirku.
"Santailah sedikit, Yusuf. Putramu itu tak akan sehancur aku yang bahagianya dicincang olehmu dan ibunya," senyumku mengejek. "Ah, jangan berpikir aku membalasmu melalui putramu, kau tahu aku tak sepicik itu," sambungku dengan menepuk-nepuk tangannya yang masih menguasai lenganku, tak lupa memberinya senyum.
Kilat amarah di mata Yusuf seakan ingin menjilati, ia tahu wanita bergamis hijau yang sedang bersedekap ini mengejeknya. "Kau- apa maumu?" Yusuf mendorongku menjauh. "Jadi, benar! Kau ingin membalasku!" Ia mengangguk-angguk seakan menyadari sesuatu. Bodoh, ia berasumsi semaunya, tapi tak apa. Silahkan saja.
"Apa?" Aku memasang wajah pura-pura bingung. Tangan Yusuf yang menggantung di sisi tubuhnya terlihat mengepal, bibirnya mengatup menahan kesal. Bukan main senang melihatnya, jujur saja hal sebiasa ini membuat hati berbunga seketika.
"Tawaranku untuk melupakan segalanya dan memulai kembali dari awal rupanya menyentil kepala batumu, Ling. Jadi- aku terima tantanganmu. Mari ke neraka yang kau buat, bersama!" desisnya melangkah meninggalkanku. Pintu kamar mamak menjadi sasaran, dentuman keras terdengar. Heh, lucu sekali pria beranak satu itu, meluapkan marahnya padaku seolah aku baru saja melakukan kesalahan besar.
***
Di luar rumah semakin ramai. Gelak tawa dan teriakan anak-anak yang bermain memenuhi gendang telinga. Aku mengintip pada tirai yang tersibak, wangi rempah-rempah yang didekap oleh angin menusuk penciuman, seketika perutku bereaksi dengan memperdengarkan bunyinya. Sudah hampir tengah hari dan belum satupun yang masuk dalam lambung ini. Sedari tadi ingin sekali melangkahkan kaki menuju dapur, namun melihat beberapa kerabat dekat ibu mulai menampakkan wajahnya, menguapkan rasa laparku.
Bocah-bocah yang bermain galah asin di halaman rumah menarik perhatianku, terutama anak berkaus putih gambar motor harley davidson pada bagian tengahnya. Ia nampak ceria, wajahnya itu makin serupa Yusuf jika tertawa, aku baru melihatnya secara langsung.
Tapi- tunggu dulu! bibir bocah itu bukan bibir Yusuf, seperti pernah melihat yang sama pada seseorang, hanya saja siapa? Apa milik Meylina? Kami hanya bertemu saat hari naas itu terjadi, aku tak benar-benar memperhatikannya sebab amarah telah lebih dulu menguasai, lagipula siapa yang mencermati secara detail wajah seseorang ketika ia murka? Hanya orang bodoh yang melakukannya. Lagian, Aku yakin bibir itu milik ibunya, wanita yang melahirkannya, siapa lagi.
Tersentil akan fakta tersebut membuat nyeri batinku, andaikata bayi yang pernah diam dalam rahim ini tak pergi kemana-mana, akankah dia juga mirip denganku atau Yusuf? Akan melegakan jika ternyata dia seiras denganku setidaknya aku bisa mengatakan pada Yusuf "Terimakasih memberiku dia penggantimu."
Seandainya bisa melihat buah hatiku bermain dan tertawa seperti putra pria yang bernama lengkap Yusuf Ahmad Haziq itu, jelas tidak akan sebesar ini benci yang membantu dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANYELIR KUNING
RomanceANYELIR KUNING (TAMAT) "Mari kita bahagia, bahagia dengan tidak bersama. Aku membencimu sampai-sampai setiap sendi dalam tubuhku seakan terbakar ketika melihatmu," kataku. "Jangan lupa! Dalam tubuh seseorang... Mengalir darah kita berdua, darahku da...