20. Menandaimu.

20.4K 2K 283
                                    

"Kheem...." itu deheman Yusuf.

Walaupun bergeming di tempatku, aku tahu ia sedang memperhatikan di balik kemudi.

"Luar biasa, ternyata kota menyerap habis sisi cerewetmu," kekehnya geli, membagi pokus antara melirikku dan jalan menurun di depan.

Pria itu sedang mencoba menyalakan bara abadi dalam dada yang setengah mati aku tidurkan sejak beberapa menit lalu. Tidak bisakah dia menghargai usahaku?

"Kamu cantik. Tapi...." ia menoleh, "galak," sambungnya dengan pipi berkedut menahan tawa.

Lihatlah dia, menjadi sangat pendiam di depan keluargaku. Dan berubah menyebalkan saat hanya kami berdua.

Karena sedang meraba hatiku untuk rasa damai yang Langit berikan lewat pelukannya beberpa saat lalu, aku memilih tak menggubris pria di sampingku ini.

"Kamu, oke?" tanyany mengelus pucuk kepalaku yang berlapis jilbab coklat polos. "Terlihat tak bersemangat."

Cih, memangnya kapan aku bersemangat di dekatmu!

"Lepas!"

"Tanganku?" tanyanya pura-pura tak paham.

"Lepas, atau kugigit!" Delikku marah.

"Gigit." Tantangnya.

Seseorang, tolong lempar aku ke kutub mana saja yang paling dingin. Panas. Aku hampir terbakar menahan geram. Yusuf sialan....

"Tolong... aku lelah. Bisa nanti saja membuatku semakin membencimu?" kataku tanpa repot menoleh padanya.

Ia tak bersuara, tapi tarikan napas dalamnya sudah menjawab pintaku. Kemudian hening menguasai.

Kami belum lama meninggalkan Redan.Kendaraan milik Yusuf merayap di atas ketinggian berkelok. Membawa dua manusia yang saling mengunci bibir.

Di kejauhan, samar kilang minyak PT. Badak LNG terlihat di balik bukit-bukit kecil. Hamparan perkebunan dan juga hijau hutan hampir seluruhnya membungkus kulit gunung. Paling ujung tangkapan netraku, birunya laut ikut membingkai. Ini indah, jika saja di nikmati oleh dua orang yang tak pernah dijeda kelam.

Mengenai kelam. Aku tidak yakin Yusuf merasakanya. Lihat saja bagaimana ia hangat diterima dalam keluargaku. Hidupnya berlanjut. Mungkin bahagia. Putranya saja tumbuh dengan sehat juga pria itu masih bisa tersenyum dan tertawa.

Sedang aku? Bersahabat dengan pekat. Tak ubahnya seperti kerbau dan kubangannya. Tidak terpisahkan, miris!

"Ling," lirihnya setelah lama membungkam diri.

Aku hanya melirik.

"Bukan maksud mencurangi kepercayaanmu dulu."

"Aku haus, bisa mampir saat menemukan warung?" Dibanding mendengar dia mengulik luka setengah keringku, lebih baik mengalihkannya.

"Aku tahu kamu belum mau membahasnya. Tapi sampai kapan kamu menghindari topik ini?"

"Sampai mati aku tak akan pernah sudi membahasnya!" Acuhku melempar pandang pada rimbun perkebunan karet di kiri kanan jalan.

"Di kota... apa kamu memiliki kekasih?" tanyanya ragu.

"Tentu."

"Aku setia padamu, tidak membagi rasa pada lainnya."

Cih, ingin aku tertawa terbahak-bahak. "Oyah?" ejekku melihat ke arahnya.

"Humm."

Baiklah, aku tak tahan. Aku tertawa. Sangat nyaring. Akan tetapi siapapun tahu itu tawa cemohan.

ANYELIR KUNINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang