10. Tak punya malu

15.3K 1.6K 76
                                    

"Lihatlah, bukankah dia sangat mirip denganku? Kapan-kapan kau harus mencoba melihat matanya. Serupa milik ibunya."

_______________________________

Aku terbiasa dengan genggaman mas Sayhan ketika dalam masalah, jadi kali ini, ketika semua mata keluargaku meminta penjelasan kepergianku, aku ingin ia ada di sini, menenangkanku dan memberi kekuatan.

Mamak sudah terisak sejak satu jam lalu. Air matanya berderai dalam dekapan seorang wanita yang baru aku ketahui istri kak Min setelah ia memperkenalkan diri padaku. Anak-anak juga sudah di ungsikan ke rumah kak Alfi, sebab sebentar lagi mereka akan menyidangku, jadi sebisa mungkin rumah dalam keadaan tenang.

Sejujurnya ingin sekali aku berlari menenggelamkan diri dalam pelukan tubuh renta mamak, namun netra-netra berkobar yang sedang menghakimiku seakan menguliti keberanianku, jadi kuputuskan menahannya. Aku memilih menunduk memperhatikan ke dua tanganku, mereka saling bertaut di atas pangkuan, ada getaran kecil di sana, sepertinya aku sedang dipermainkan grogi.

Kak Tera menangkap getar itu, netra semematikan babatan samurai di beningnya meredup, beralih sendu menyapa. Kak Min pun demikian, mereka seolah mengerti pergolakan batin yang kualami.

Jangan tanya reaksi kak Syahrin, sedari tadi sorot tajamnya menghantam tak beri ampun, dan yang terbaca oleh penglihatanku adalah amarah yang sebentar lagi akan menyembur.

"Kau pikir hadir di dunia karena terlempar dari langit?" Mata hitam kak Syahrin masih betah di sana. Ia duduk menyandar pada bahu kursi dengan bersedekap, hampir sama dengan gaya pak Rizal supervisorku ketika mengintrogasi kami saat terjadi kesalahan input nama barang.

Bibirku mengatup. Harus menjawab apa aku? sedang aku tau ia sedang menyindir, tetap diam menjadi pilihanku. Rupanya bungkamku seperti angin sepoi dalam kebakaran, percik api dalam netra kak Syahrin sedikit demi sedikit mulai menyala. Tunggu saja, sebentar lagi mulutnya akan mengeluarkan kalimat menyakitkan.

"Hal penting apa yang membawamu kembali? Apa pada akhirnya kau sadar, bahwa kau ternyata hadir di dunia ini karena dilahirkan, bukan dimuntahkan?" Aku hampir tertawa mengetahui tebakanku benar.

"Sayang, tenanglah. Jangan membuat Mamak semakin sedih dengan melihatmu seperti ini." Wanita berjilbab mustard mengusap lembut tangan kak Syharin.

"Dia ini sudah keterlaluan, Din." Tunjuk kak Syahrin padaku, aku ngeri melihat tatapannya. "Pergi sesukanya, lalu kembali sesukanya. Di matanya, kami ini bukan siapa-siapa. Tak pernah sekalipun memberi kabar. Lima tahun pertama kepergiannya, kami masih menahan diri, berharap dia kembali karena masih ada kami keluarganya yang menanti di sini, walau waktu itu mamak sakit-sakitan memikirkan dia. Sepuluh tahun kepergiannya, kami mulai menyerah menunggunya, bahkan sewaktu memperbaharui kartu keluarga mamak, ingin sekali aku menambahkan kata almarhum di belakang namanya. Lihat, betapa putus asanya aku sebagai kakak menunggu kabar adikku. Aku sangat paham dia terluka, tapi pernahkah dia bertanya pada kami, bagaimana perasan kami? Kami pun sama terlukanya. Duka karena Bapak, dan keponakan kami menghadap Ilahi belum kering, lalu ia tambah duka itu dengan menghilang," kalimatnya seperti menelanjangi. Cairan bening satu persatu berlabuh dipangkuanku. Kugigit bibir agar isaknya tak lolos, racun dari mulut kak Syahrin sukses menombak jantung.

"Sudah, Dek. Yang penting sekarang Aling bersama kita." Kak Tera menghampiriku, menggenggam erat tanganku yang bergetar menahan isak.

Kak Syahrin tak mau kalah, ia belum puas mendorongku ke jurang rasa bersalah. "Apanya yang sudah, Kak? Sumpah mati, aku malu pada Yusuf. Ia memikul tanggung jawab yang seharusnya di tanggung adek kita ini, Kak." Kembali telunjuk kak Syahrin mengarah padaku dengan intonasi suara yang naik beberapa oktaf.

ANYELIR KUNINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang