"Lepaskan Ling! Pisau itu bisa menyakitimu," teriak Yusuf di tengah riuhnya alunan musik pesta pernikahan yang hampir menulikan telinga.
Seketika musik berhenti, suasana menjadi hening, puluhan pasang mata kini fokus menatapku. Tak ada suara, hanya sesekali terdengar denting gelas dan piring yang saling beradu dari arah belakang kediaman mempelai wanita.
Aku mengedarkan pandanganku pada setiap sudut pesta. Dekorasi pelaminan didominasi dengan warna emas dan silver. Kain-kain dengan ornamen sulam khas Negeri Angin Mamiri yang menjuntai di bagian atas pelaminan memberikan kesan mewah dan menawan. Bosara lompo yang tertutup kain sulam emas, di pajang berbaris dekat pelaminan. Tak ketinggalan vas-vas klasik bergaya Eropa yang diisi rangkaian bunga berwarna-warni turut meramaikan pesta.
Bagaimana mereka bisa begitu sempurna mempersiapkan semua ini setelah menancapkan duri di palung hatiku?
Teganya!
Pandanganku berhenti, menatap lekat mempelai wanita yang mematung, ia meremas baju bodo berwarna hijau yang melekat di tubuhnya menyembunyikan henna ala india-nya. Kalung berantai juga gelang keroncong bersusun yang menghiasi leher dan tangannya berbunyi saat ia berbalik membelakangiku, ketika menghadiahkan senyum mengejek.
Wanita itu, dia tidak akan memiliki suami jika tidak merebut milikku! Punyaku yang berharga, tempatku menitipkan semua harapan dan masa depan, sumpah mati aku membencinya.
Kularikan netra menatap pria yang mengenakan jas berkerah yang dipadu dengan sarung bermotif dan berwarna sama dengan yang dikenakan mempelai wanita. Sesekali aku lihat ia melirik pisau dapur yang berada dalam gengamanku.
Ia cemas, batinku bersorak.
"Kenapa Yusuf? Kau takut? Takut aku menikam mempelaimu yang cantik itu?" Pupilku tajam menghujam pada manik hitam di depanku.
Pisau digengaman terarahkan pada mempelai wanita di atas panggung yang menatap ngeri.
"Jangan berbuat bodoh, Ling! Aku ini suamimu dan akan tetapi begitu, tak akan ada yg berubah, sumpah mati aku mencintaimu, jadi tolong kendalikan dirimu," ucapnya yang diangguki setuju oleh orang-orang yang mengerumuni kami. Aura cemas tergambar di setiap wajah.
"Kamu, tidak akan mengerti Yusuf! tidak akan pernah! Bukan kamu yang menjadi aku! Bukan kamu di posisiku, bukan kamu yang merasakan nyeri di sini!" Aku menunjuk dada dengan ujung pisau, napasku memburu dengan bibir bergetar menahan tangis, sungguh dalam luka yang Yusuf tanam, nyerinya tak terlukis.
"Aling, dengarkan aku! Sampai kapanpun kamu prioritasku. Aku hanya membantunya." Ia menoleh pada mempelainya memohon pengertian atas ucapnya.
"Membantu menghangatkan ranjangnya? Itu maksudmu? Hah?" sungguh miris, aku di sini berjuang mempertahankan suamiku yang sedang membangun pilar-pilar bahagianya dengan wanita lain dan melibatkanku di dalamnya.
"Jaga bicaramu! Perkataanmu bisa melukai hatinya dan keluarganya!" Kali pertama dalam pernikahan kami ia menghardikku. Jangan tanya rasanya, paku yang memang sudah tertancap di dalam dadaku, seperti sedang di palu agar semakin jauh melejit menusuk. Ia mengkhawatirkan perasaan mempelainya dibandingkan perasaanku yang kini berdarah-darah? Teganya Yusuf.
"Ling, ayo pulang, Nak." Bapak menyela, membujukku pulang.
"Tidak, Pak! Aling tidak akan kemana-mana tanpa Yusuf." Aku masih bertahan menatap manik hitam yang dulu pernah membuatku mabuk kepayang. Sekarang? entah, semuanya terasa hambar. Kobarnya telah padam, sisakan arang menghitam, sayangnya walau aku berharap ia menjadi debu agar angin membawa pergi tak bersisa, itu tak terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANYELIR KUNING
RomansaANYELIR KUNING (TAMAT) "Mari kita bahagia, bahagia dengan tidak bersama. Aku membencimu sampai-sampai setiap sendi dalam tubuhku seakan terbakar ketika melihatmu," kataku. "Jangan lupa! Dalam tubuh seseorang... Mengalir darah kita berdua, darahku da...