Jangan jumawa terhadap diri sendiri, sebab semesta dan pemiliknya punyai segala cara membabat habis rasa itu.
Aku pikir setelah memutuskan untuk bangkit dari kematian batinku, sungguh aku telah siap menghadapi pelik kejutan hidup. Ternyata tidak. Pria yang berdiri tidak lebih dua meter di depanku adalah bukti bahwa aku masih menyisihkan sedikit tempat atas hatiku yang terkoyak.
"Untuk menjalani masa depan, kamu cukup memaafkan masa lalu." Beberapa bulan lalu mas Sayhan pernah mengatakan demikian. Waktu itu aku menganggukkan kepala, tapi sekarang kenapa terasa sangat sulit.
Ada banyak kemungkinan di dunia ini, tapi bertemu dengannya di rumah orang tuaku adalah kemungkinan yang sulit dipercaya, kecuali alam dan pemilik-Nya berkonspirasi.
Aku menegang takkala iris bening itu tajam menatap. Nyeri perlahan resapi cela dada. Ada luka yang kembali terburai, sakitnya mengalir bersama pacu gerak darahku. Bisa kurasakan ngilunya dalam denyut nadi. Andai tak ku ingat bahwa detak yang dahulu menyuarakan namanya telah ku bunuh, tentu makian dan sumpah serapah menjadi pengantar kata mengingat dialah pencipta lara ku.
Tatapan kami bertemu, tajam matanya memandang tak percaya, rindu, kecewa dan amarah jelas terlukis. Andai aku sudi selami mungkin kan kudapati damba yang membuncah. "Kau kembali..." lirihnya hampir tak terdengar. Aku membuang muka. Beraninya dia! berbicara padaku seakan antara kami tak pernah ada pekat yang menjadi pemisah.
'Bawa ia pulang. Perkataanmu melukainya dan keluarganya. Pria bisa menikah lagi tanpa izin istri pertama.' Bagai kaset rusak kata-kata itu menari jejali otakku. Pernah berdamai pada diri sendiri, aku memaafkan diriku di masalalu, tetapi untuk berdampingan dengan pemicu benci itu saat ini, aku tak sanggup.
Hening.
Ia mendekat, membuat langkahku memundur. "Masuklah." Ia membuka kunci pintu. Masih bergeming, tak menganggap ia ada, isi kepalaku menari-nari mencari jawaban kenapa pria ini ada di rumah orangtuaku.
"Keras kepala tidak menyelamatkanmu dari flu, bersikeras menunggu di luar, bukan pilihan baik." Ia menoleh ke arahku, sebelah tangannya memegang daun pintu. Benar katanya, mempertahankan ego hanya akan menyusahkan diriku sendiri.
"Biarkan." Ia kembali bersuara, aku menoleh padanya untuk pertama kali. Masih sama, wajah yang pernah kugilai dulu tak berubah sedikitpun, kecuali semakin tampak dewasa. "Kopermu. Biar aku membawanya." Hah, ini jenis basa basi busuk yang tidak kuperlukan, hanya membuat diriku semakin muak.
Aku melenggang melewatinya, berusaha tak menyentuh sedikitpun. Semerbak wangi gabungan antara jeruk mandarin, nerolli, labdanum, rosemary dan aroma segar air laut menyapa indra penciumanku. Ah, rupanya selera parfum nya berubah, seingatku dulu ia menyukai wangi kayu cendana dan vetiver. Siapa peduli? Bukan urusanku.
Aku berdiri memindai ruang tamu bernuansa hijau stabilo, sebuah pigura ukuran 75 x 100 cm menampilkan satu persatu anggota keluarga menyita perhatianku. Mamak duduk di tengah barisan diapit kak Tera, kak Alfi, kak Mim dan kak Syahrin yang masing-masing duduk di depan wanita dan pria yang aku taksirkan adalah pasangan mereka. Sedangkan pada barisan paling depan dua anak perempuan dan empat anak laki-laki tertawa menghadap arah kamera.
"Duduklah. Aku keluar sebentar." Seperti kataku tadi, aku mengaggapnya tak ada, jadi aku tak perlu menjawab ucapanya dan memilih meneruskan kegiatanku. Sampai akhirnya mataku berhenti bergerilya pada satu fokus, sedikit memicing agar semakin jelas. Pria itu kembali kutemukan di sana, berada dalam pigura yang sama dengan keluargaku, tersenyum manis memangku bocah kecil serupa dengannya.
Layaknya sebuah martil menghantam dadaku, hancur dan lebur, aku merasa di khianati. Posisi yang seharusnya untukku bagaimana bisa mereka berikan padanya. Tidakkah mereka memikirkan perasaanku? Dan lagi... bocah itu, anaknya dan wanitanya kenapa bisa terpampang di rumah orang tuaku? Aku kehabisan kata, sungguh detik ini amarah menagih ruang untuk dilampiaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANYELIR KUNING
RomanceANYELIR KUNING (TAMAT) "Mari kita bahagia, bahagia dengan tidak bersama. Aku membencimu sampai-sampai setiap sendi dalam tubuhku seakan terbakar ketika melihatmu," kataku. "Jangan lupa! Dalam tubuh seseorang... Mengalir darah kita berdua, darahku da...