8. Boleh aku memelukmu?

17.8K 1.8K 81
                                    

Setelah menunaikan ibadah salat subuh aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Kabut tipis masih menyelimuti, cahaya kemerahan dari timur pun baru mulai menyinari separuh bagian desa. Cicit burung pipit dan gemericik air dari pancuran yang dipasang untuk mengairi sawah saling beradu. Subuhku yang tadinya memanas sedikit meredam. Merentangkan kedua tangan aku menyesapi angin yang berhembus di helai-helai rambutku. Segar

"Angin pagi Redan kurang baik bagi yang tidak terbiasa. Memakai jaket bisa dikatakan pilihan yang tepat." Aku terjengkit hampir berteriak terkejut kemunculannya. Ia berdiri tidak jauh di belakangku, kedua tangannya membetulkan tudung hoodie bewarna maroon di kepala.

Acuh, aku berlalu. "Banyak hal yang berubah dari desa kita." Ia berjalan di belakangku, kepalanya menengok ke kiri dan kanan, memindai keadaan sekitar. Masih pagi sekali, jadi belum banyak warga yang turun ke ladang.

"Di balik bukit sana, tepat di bawah akasia yang sering kita sambangi ada penginapan yang di bangun. Pantainya pun tak selayak dulu, lebih ramai. Kalau kau mau melihat-lihat aku bisa mengantarmu." Sambungnya menunjuk bukit di depan kami.

Mengantar kepalamu! Mana sudi aku berdua-duan denganmu. Menghirup udara yang sama saja aku terpaksa.

Kami belum jauh meninggalkan rumah ketika kakiku terhenti, mengepalkan tangan dengan geram, lalu memejam sejenak. "Berhenti membohongi diri seakan kita berdua baik-baik saja!" Aku berbicara tanpa repot-repot menoleh kebelakang menatap matanya.

Tubrukan kecil pada punggung, memaksa aku menoleh padanya. Ia tersenyum, menyeret kakinya satu langkah menjauh dariku, ia menatap lembut. "Kita memang tidak sedang baik-baik saja. Tapi aku sedang berusaha untuk membuat semua kembali baik-baik saja."

"Jangan bermimpi!" sengitku mendelik marah. Ingin sekali aku menampar bibir tipis itu. Dia pikir bahtera yang telah koyak dan lebur di pantai kembali dapat mengarungi samudra? Silahkan berkhayal!

"Aku tidak tidur. Jadi aku yakin, tidak sedang bermimpi." Ia mengerutkan kening lalu mengendikkan bahu. Bibirnya tersenyum miring seakan sedang mengejek diriku, membuat aku semakin ingin mengunting kecil-kecil bibir itu.

"Semoga tuan Yusuf tidak lupa alasan aku meninggalkan desa ini," desisku mendekat, lalu menegadah menatap tajam bola matanya. Darahku mendidih seakan sedang dipanaskan dalam tungku yang besar, tidak tahan melihat Yusuf yang bertingkah seakan tak pernah menoreh derita padaku,.

Bergeming di tempatnya dengan tatapan tak terbaca. "Kau... masih sangat membenciku?" tanyanya nanar. "Bahkan setelah dua belas tahun?" Mata itu memancarkan luka yang tak bisa disembunyikan setelah kalimatnya selesai.

"Katakan, apa alasanku untuk tidak membencimu?" desisku menantang. Kilatan dalam mataku harusnya menjawab tanyanya.

Awalnya aku tidak ingin memperlihatkan rasa benciku padanya, aku ingin ia tahu bahwa luka yang ia toreh dahulu sudah hilang. Aku adalah Aling yang baru, Aling yang telah melupakan pahit sembilu yang ia lilitkan dua belas tahun silam. Tapi menemukan Yusuf seperti ini, membuatku tak mampu untuk tak menyemburkan amarah.

"Banyak! Salah satunya karena membiarkan aku selama hampir tiga belas tahun ini berjuang sendiri," Ia menunduk menatap lekat mataku. Sial, hidung kami bersentuhan.

Cih. Membuangku dahulu, lalu sekarang berkata berjuang sendiri.

"Tak tau malu! Manusia yang paling tidak ingin aku temui setelah aku kembali adalah kamu, tapi rupanya kesialanku tak pernah ada habisnya." Aku mencecar dengan kalimat menusuk. "Asal kau tahu, melihatmu semalam membuatku menyesali keputusanku untuk pulang. Aku bahkan mengasihani diriku. Pernah menjadi bagian hidupmu sungguh menjijikan, Yusuf. Menjauhlah! Dorongku pada dadanya. "Kau menghalangi jalanku," bentakku sambil berlalu dengan wajah merah menahan murka oleh sentuhannya.

ANYELIR KUNINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang