18. Tanggung bersama akibatnya.

18.7K 1.7K 92
                                    

Saat ini....

Setelah kau usai bersamanya.
Ambung harga dirimu setinggi langit.

Sebab aku....
Adalah bekas yang tak membuka diri.

____________🍃____________

Salah satu dari sekian banyak hal yang aku rindukan dari Redan adalah kokok ayamnya. Bersahutan dari ujung ke ujung.

Walaupun merupakan desa kecil, namun tatkala fajar mulai menyingsing, desa ini dilingkupi perasaan hangat, seperti sekarang.

Aku memperbaiki posisi, tidak berniat membuka mata. Rasanya pegal karena semalaman tidur dalam ruang gerak sempit.

Lantunan ayat suci dari surau desa belum terdengar, tapi aku tahu sekarang sudah memasuki waktu subuh.

Tangis anak kecil dan bayi penghuni rumah ini tak kalah riuh dengan ayam di luar, dan hal itu turut membenarkan dugaanku.

Sangat sulit sebenarnya membuka mata mengingat aku tidur sangat larut.

Semalam, setelah menghadiahkan Yusuf lima jari di pipinya, aku memutuskan untuk tidur di sofa ruang tamu. Tanpa bantal juga selimut.

Ini bukan rumahku, dan lagi kak Alfi belum menjadi sekutuku sehingga aku merasa tidak enak meminta bantuan padanya, walaupun sekedar meminjam selimut. Sedang pada yang lainnya, aku masih mengibarkan bendera kemarahan.

Aku tidak manja. Keadaanku dahulu ketika awal merantau kekota jauh lebih tidak baik. Dan aku bertahan. Jadi menurutku ini, bukan apa-apa. Beku angin malam yang menembus tembok untuk mengendus kulitku bukanlah hal yang harus kuratapi.

Apalah arti dingin, dibandingkan panas yang terlanjur tumpah akibat Yusuf dan ingatan kilas masa lalu.

Mataku menyipit saat terbuka. Hal pertama yang tertangkap adalah pelapon rumah dan silau cahaya lampu. Rupanya semalam aku lupa mematikannya.

Satu detik....

Dua detik....

Lima belas detik....

Satu menit....

"Sudah bangun?"

Bukan main terkejut aku. Secepat kilat menoleh pada datangnya suara.

Di depanku, hanya berjarak dua puluh jari. Dagunya bertumpu pada kedua tangan di atas sofa, bersisian dengan lenganku. Pria itu memamerkan senyum yang tak sampai ke mata.

Butuh waktu untuk memastikan aku tidak sedang bermimpi. Kesal semalam tidak mungkinkan, mengejarku sampai pagi. Mana tahu, rasa benci berlebihku memproyeksikan gambaran laki-laki memuakkan itu.

"Seperti dulu. Cantik," lirihnya

Ini bukan mimpi.

Dia nyata.

Di depanku.

Sangat dekat.

Aku spontan terduduk sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada, melindungi diri.

"Tenang. Belum terjadi apapun," kembali ia tersenyum segaris. "Aku, di bawah. Dan kamu di atas." Ia menunjuk bekas pembaringannya. "Terbalik. Harusnya, kamu di bawah dan aku di atas. Seperti posisi yang biasa kita lakukan dulu di... ranjang," ucapnya lagi dengan kilat mata yang aneh.

Aku bergeming.

"Maaf, tak memberimu selimut. Kupikir kamu tidak membutuhkannya. Seingatku, selama berada di Redan, kamu selalu kepanasan saat berdampingan denganku," ucapnya sambil merenggangkan otot-otot tubuh.

ANYELIR KUNINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang