"Tak cukupkah dendammu hanguskan kita berdua? Aku mampu menelan jutaan duri jika kau pinta. Masalahnya, aku tak begitu yakin dirimu sanggup hidup tanpaku setelah tau pria kecilku itu siapa."
~Yusuf
___________________Katanya, untuk memulai hubungan baru, sebaiknya berhenti terlebih dahulu untuk mempersilahkan jeda mengobati segala sakit.
Aku tak pernah mengira jeda yang dibutuhkan hatiku lebih lama dari yang dibutuhkan orang lain. Dua belas tahun dan ia tak benar-benar sembuh. Ingin sekali aku mencibir.
Aku tahu, aku jahat. Memanfaatkan cinta tulus mas Sayhan agar terlepas dari jerat lara masalalu. Nyatanya duka itu tak pergi ke mana-mana. Ia masih di sana, mencekik hingga sesak.
Tidak, jangan salahkan mas Sayhan. Bukan karena cintanya lemah, tapi aku yang memang tak ingin keluar dari kubang lumpur hidup bernama nestapa yang menarikku dalam kepahitan. Aku nyaman di sana, berenang menunggu saat ia menenggelamkan.
Teriak bunyi ketel meraung pekakkan telinga, uap air yang keluar dari ujung corongnya meliuk ciptakan pola abstrak. Lesu aku menghampiri api kebiruan yang menjilati dasar ketel. Diriku perlu mendinginkan perasaan, dan pilihanku jatuh pada kopi panas, mencecap pahitnya menjadi canduku. Kopi pahit untuk hidup yang pahit, kurasa perpaduan yang sempurna.
"Boleh aku memelukmu, Aling?" Perutku seketika bergejolak mengingat pinta Yusuf siang tadi. Bahkan dalam mimpi pun tidak pernah aku izinkan ia memelukku. Tak sudi.
Yusuf mempermainkanku, ia menikmati rona merah murka rupaku. Tak perlu lagi berdamai dengan masa lalu, ia pantas untuk dibenci, mungkin juga pantas untuk dicaci.
"Seingatku, kamu membenci kopi dan rokok." Astaga aku hampir terjengkal karena terkejut. Kedua kalinya ia mengejutkanku hari ini. Berdiri tepat pada pintu penghubung ruang keluarga dan dapur, tangannya menenteng dua kantong penuh belanjaan. Bening hitamnya jatuh pada gelas keramik putih dalam genggamanku.
Aku muak menghindar darinya, jadi mari beradu kata. "Aku menyukai apa yang dahulu kubenci dan membenci yang dahulu kusukai, terlebih kamu." Mataku mengikuti pola melingkar yang dihasilkan oleh gerak memutar sendok dalam gelasku. "Ingin mencobanya?" Ku angkat gelasku di depan wajahnya. "Ah, jangan. Kau tak terbiasa. Ini pahit, tidak cocok untuk hidupmu yang selalu manis," ucapku mencibir.
Ia berjalan melewatiku, meletakkan kantung belanjaan pada meja lesehan di samping kakiku. Kemudian berbalik, kami hanya berjarak tiga penggaris ukuran 30 cm. Netranya memicing. "Kota rupanya mengajarkan bibirmu mengeluarkan kalimat pahit. Bibirmu itu, ingin sekali aku bungkam dengan ciuman. Lama tak tersentuh bibirku tampaknya menghilangkan kalimat manisnya."
Aku tidak tahu bagaimana prosesnya hingga darah pada jari-jari kakiku kini berkumpul di ujung kepala. Lima jari tanganku sudah berpindah pada wajahnya. Mukaku sewarna cabai merah, bisa jadi lebih merah. Rahangku mengeras karena amarah. "Beraninya, kau!" Mataku membola syarat kebencian.
"Kukira kebencianmu lebih dari pada ini, dibandingkan menyebutnya amarah, tamparan ini, lebih terkesan luapan rindu yang terpendam," senyumnya sangat manis. Tangan kanannya mengelus pucuk kepalaku sedang tangan kirinya tersampir di pundak kananku.
Oh, astaga. Habis sudah kesabaranku. "Lepas! Apa maumu, Yusuf?" teriakku frustasi. Kedua tanganku erat mengenggam gamisku menyalurkan segala murka.
"Kamu," jawabnya mengurai elusan di kepalaku. Ia mundur satu langkah. Menunduk sejenak lalu kembali menatapku tak terbaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANYELIR KUNING
RomanceANYELIR KUNING (TAMAT) "Mari kita bahagia, bahagia dengan tidak bersama. Aku membencimu sampai-sampai setiap sendi dalam tubuhku seakan terbakar ketika melihatmu," kataku. "Jangan lupa! Dalam tubuh seseorang... Mengalir darah kita berdua, darahku da...