2. Tak lagi sama

17.7K 1.9K 18
                                    

"Sudah sampai, Nak," ucap kaik Biak membuyarkan lamunanku. "berlama-lamalah di sini, Langit membutuhkanmu," katanya kembali menyebut nama seorang anak.

"Iy, Kaik. Sampaikan salam Aling pada nenek Non, jika ada waktu, Aling usahakan menjenguk beliau," kataku mencium tangan sebagai bentuk takzim.

"Iy, nanti Kaik sampaikan. Assalamualaikum," katanya menstarter motor.

"Waalaikummus salam."
Aku tersenyum memandang kepergian kaik Biak yang menjauh. Semburat jingga telah hilang, berganti gelap menyelimuti mayapada ketika aku sampai di depan rumah masa kecilku.

Kerikil kecil yang tersusun rapi di sepanjang jalan setapak menuju pintu utama, membuat ujung high heels navi milikku terperosok di sela-sela gravel. Sedikit terpincang aku menyeret koper mendekati anak tangga. Banyak yang telah berubah

Dua belas tahun lalu parit yang memisahkan rumah dan jalan setapak yang biasa dilalui warga, kedua sisinya ditumbuhi pohon kelapa yang berbuah lebat, pelepahnya yang terjuntai menyentuh air sering kami gunakan sebagai perosotan saat mandi di parit. Kini parit itu sudah berubah menjadi saluran irigasi yang telah di semenisasi, pohon kelapa yang banyak tumbuh sudah tak lagi ada, PLN juga telah menyentuh desa.

"Ah, dinginnya." Aku merapatkan cardigan berharap dapat mengurangi dingin angin laut yang berhembus dari balik bukit di belakang rumah.

Malam semakin merajai, netraku kian sibuk mengamati rumah masa kecil. Tak ada lagi tiang-tiang tinggi penyangga rumah. Tak ada lagi dinding dari papan kasar. Atap yang dahulu terbuat dari anyaman ilalang pun telah berganti menjadi asbes. Rumah panggung beralih menjadi rumah beton.

Ibu menyukai kesederhanaan, pantas saja cat rumahnya didominasi warna cokelat dengan daun pintu berwarna kuning, tak lupa bagian teras dua buah kursi dari rotan diletakkan menghadap kearah persawahan di seberang jalan semakin memberi kesan tentram. Segalanya berubah, aku tentu tidak mengetahui rumah ini, jika kaik Biak tak menurunkanku tadi di sini.

"Dengar-dengar istri Pak RT kena strok, seluruh badan tidak bisa digerakkan, katanya karena kurang gerak. Mamak dengar sewaktu Ibu-ibu kampung ngobrol saat lagi bantuin Haji Masruni menanam padi. " Mamak membuka obrolan, tangannya tampak sibuk mengikat daun bayam yang akan dijual esok hari.

Kak Mim yang sedang asik membaca Al-Qur'an menoleh. "Penyakit itu datangnya dari Allah dan sembuhnya juga dari Allah. Mungkin memang Bu RT sedang diberi ujian oleh Tuhan."

"Wissshhhh... Ada ustaz rupanya di rumahku," lirikku menggejek.

Kak Tera yang sedang membantu mamak mendelik ke arahku. "Yang sopan ya sama kakaknya."

"Eh, Kalling sipusing tujuh keliling, kapan kamu mau pakai jilbab? Nggak malu yah? Rambutmu dilihat laki-laki yang bukan mahram? Kakak nggak mau loh yah, kamu seret nanti ke neraka," kak Mim bertanya. Salahku, menjerumuskan diri dalam sidang tak berkesudahan. Lihat saja, sebentar lagi hakim kedua akan angkat bicara.

"Ish. Kakak nyuruh aku nyembunyiin wajah cantikku?" tanyaku kesal. "Nggak akan! Kayak ibu-ibu," sungutku lagi.

"Biarin, Kak. Kebal dia sama godamnya malaikat Mungkar dan Nakir." Kak Alfi angkat bicara. Aku tersudut. Posisi menjadi satu lawan tiga.

Pelita dari kaleng bekas susu yang diisi minyak tanah meredup, tertiup angin dari cela dinding kayu yang berlubang. Di luar sana suara jangkring bernyayi bersahutan.

"Apa sih, Kak! Aling bakal pakai kalau sudah siap. Aku masih kelas tiga SMP, masih kecil! Nanti aja kalau sudah SMA. Iyakan, Pak?" Aku menatap bapak, mencari pembelaan. Namun sayang bapak tak bergeming. Beliau selalu setuju dengan kata kakak-kakakku jika itu tentang menasehati aku yang katanya terlampau manja.

"Kamu kira ajal datang pakai nanti-nanti? Nggak, Ling. Ajal itu bisa datang kapan saja. Nggak kasihan kamu sama Bapak dan Kakak? Kelak harus dilempar ke dalam neraka cuma karena kamu nggak pakai jilbab?" Suara kak Mim naik satu oktaf. Udara malam semakin dingin tapi ruangan ini justru terasa panas. Dalam temaran cahaya lampu minyak bisa aku lihat semua mata tertuju padaku, mungkin mereka tidak percaya aku membantah kakak tertuaku.

"Ling! Benar kata kakakmu, perempuan ditanggung oleh empat laki-laki, suaminya, bapaknya, kakaknya dan anak laki-lakinya. Jadi kalau kamu tidak menutup aurat, nanti ke empat laki-laki tersebut akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah. Jangan menganggap remeh masalah ini. Sudah! salat isya dulu." Mamak menengahi pertengkaran kami.

Mataku seketika berembun, aku merindukan mereka, sekian lama meninggalkan desa tak pernah sekalipun memberikan kabar. Bukan bermaksud ingin melupakan, hanya saja aku takut dengan mengetahui keberadaanku seseorang akan datang menjemputku, aku tidak ingin itu terjadi.

Gemericik air yang mengalir dari saluran irigasi depan rumah, sedikit meredam debar jantungku ketika ingin mengetuk pintu.

"Assalamualaikum..."

"...."

"Assalamualikum...." Ulangku.

"...."

Menunggu seseorang membukakan pintu, tanganku menepuk dada meredam debaran yang kembali bertalu.

"Assalamualaikum!" Sedikit berteriak aku kembali mengucap salam.

"...."

"Bu Pessa sedang tidak di rumah, ia ada di kampung sebelah! Cucunya sedang di khitan!" suara pria berteriak dari arah jalan depan rumah. Aku membalikkan badan, di sana berdiri seorang pria paruh baya memakai koko putih polos lengan panjang beserta kopiah hitam di kepala.

"Kampung sebelah?" tanyaku ikut berteriak.

"Iy Mba, mungkin tidak akan pulang malam ini," katanya mendekat.

"Kampung sebelah mana ya, Pak?"

"Kampung menantunya yang orang sunda, Mba. Tapi, tak usah khawatir, menantunya yang lain sebentar lagi akan pulang bekerja. Mba bisa menyusul bersama dia nanti." Pria itu terlihat berpikir. "Biasanya setengah jam lagi ia akan tiba jika tidak lembur."

"Terimakasih, Pak," Aku memperlihatkan lesung pipi. Setengah jam tidak akan lama. Aku bisa menunggunya sambil mendengarkan musik.

"Sama-sama, Nak. Kalau begitu Bapak kesurau dulu yah, sebentar lagi masuk waktu salat isya, jangan sungkan untuk meminta bantuan jika menemui kesulitan. Rumah Bapak tidak jauh. Seratus meter dari sini, rumah kayu bercat hijau. Assalamualaikum," katanya meninggalkan pekarangan rumah mamak.

"Waalaikummussallam."

Aku memutuskan menghempaskan pantat pada kursi rotan berwarna coklat yang berada di pojok teras. Mengeluarkan ponsel dari tas selempang lalu memeriksa pesan masuk pada aplikasi whatsapp. Ada dua belas pesan masuk dari pegawai toko dan tiga puluh dua pesan dari mas Sayhan, menanyakan apakah aku sudah sampai, sudah bertemu mamak dan apakah aku merindukannya. Sebab ia sangat merinduku tulisnya.

Setelah membalas pesan mas Sayhan yang kemudian ku sesali karena penuh kata-kata dimabuk cinta khas anak remaja terserang virus merah jambu, aku memasang headset di telinga dan memutar satu lagu yang amat aku sukai karena mengingatkanku pada lamaran mas Sayhan.

Aku tak pernah percaya kami sampai ditahap ini. Hubungan yang kumulai dengan ragu nyatanya semakin hari aku semakin menikmatinya. Kisah kami tak ada dusta, segalanya dimulai dengan kejujuran. Ia menerima kelamnya masa laluku dan mungkin aku harus bersyukur karena memilihku. Berlahan mendung yang setia menemaniku bertahun lamanya sedikit demi sedikit terkikis sebab hadirnya.

Mengajakku berlari meninggalkan badai hidup di masa lalu, ia merekatkan genggamannya. Aku terharu dan melambung di waktu yang bersamaan. Mas Sayhan kembali mengenalkanku pada warna pelangi, dan akhirnya kini hanya menyisihkan sedikit ruang untuk warna kelabu. Aku dan mas Sayhan adalah dua orang yang mencoba merajut pelan kisah indah. Ah, bukan mas Sayhan. Tapi aku yang berjalan pelan, ia harusnya berlari namun dirinya bersabar menungguku untuk berjalan beriringan.

Aku semakin merindukan pria bermata sendu itu. Pria yang selalu membuat bulan sabit di bibirku terukir. Pria yang pelan-pelan menyamarkan dukaku. Pria yang berkata, jika ingin menghilangkan luka yang melekat di kalbu, aku harus berani membuka hati untuk diisi seseorang dan menurutnya orang yang tepat untuk posisi itu adalah dirinya.

***
.
.
.
🏡
( Melak, 18 February 2019 )

ANYELIR KUNINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang