Apa tak cukup jelas rasa kutunjukkan?
Hingga kuteguk kecewa yang teramat sangat.Padahal....
Cinta kutanam seperti sibuta
Ingininya tak sebatas delusif
Canduinya melebihi Rahwana pada Sinta_____________
"Sabar, Nak. Tuhan sedang menaikkan derajat kita. Derajatmu," lirih mamak memelukku yang memandang hamparan sawah kosong pasca musim panen di balik jendela dengan tatapan kosong.
Satu lagi kenyataan kudapati. Tamparan fakta yang menyadarkan bahwa aku telah selesai di dunia ini.
"Dia sangat kecil, rambutnya hitam, hidungnya mancung. Aku tak tahu bagaimana matanya, karena sejak lahir telah tertutup. Aku bisa mengatakan dia benar-benar duplikat Yusuf." Itu yang Ramlah katakan saat pertama kali kutanyakan sakit jahitan di bawah perut.
Waktu itu hanya ada kami berdua.
Dan aku tak tahu Ramlah sedang membicarakan apa. "Kamu percayakan, Ling. Di dunia ini, ada yang datang kemudian pergi. Ada juga yang hanya mampir sekedar menempa agar kita menjadi pribadi kuat dan berderajat." Masih kuingat bagaimana lekat mata Ramlah menatapku.Gadis itu kembali berbicara setelah aku mengangguk membenarkan ucapnya. "Tuhan sedang menyiapkan surga untukmu. Ia pergi tidak dengan sia-sia, kelak kau disambutnya di pintu firdaus."
"Siapa? Bapak?" Aku bertanya karena sedikit mulai paham arah pembicaraan Ramlah.
"Bagaimana kalau aku bilang, lain?" Tangan Ramlah mulai menyusupi jemari-jemariku.
"Lalu? Yusuf? Hah, Semoga benar!" Ada harapan terselip.
"Ling! Kamu baru saja melewati pintu kematian. Jangan mendoakan orang lain!" Sahabatku itu mengingatkan.
"Trus, kalau bukan dia, siapa? Bukan Melina, kan? Alih-alih menungguku di pintu surga, tentu kamu masih ingat kalau dialah pencipta nerakaku!"
"Ling!" Ramlah menggeleng meminta aku berhenti.
"Apa? Kamu membelanya?" Emosiku mulai naik.
"Bukan begitu, Ling." Genggaman pada jemariku mengencang.
"Lalu, apa? Aku tidak boleh mengatainya?" Lepas sudah kendaliku. "Kenapa...? Jawab!"
"Kamu baru sadar. Istirahat, ya." Ia menepuk-nepuk bantal putih rumah sakit agar aku berbaring.
Membuang muka pada tirai berwarna mint pemisah ranjangku dengan ranjang pasien lainnya. "Ram... aku sangat membenci Yusuf dan wanita itu."
"Iya, aku tahu." Ia memeluk sambil menepuk bahuku menguatkan.
Aku bersyukur memiliki sahabat seperti Ramlah. Dia ada di saat terpurukku. Berdiri paling depan bersamaku menghadapi kecurangan Yusuf. Menyayangiku tanpa kata mengapa.
"Jadi, siapa?" Aku mengurai pelukan.
"Siapa?" Keningnya berkerut.
"Yang menungguku di pintu surga, katamu tadi."
"Aku tak yakin, Ling. Kurasa bukan kapasitasku memberitahumu."
"Katakan."
"Tapi...."
"Ram....!"
"Bayimu... bayimu berpulang, Ling."
Itu adalah percakapanku dengan Ramlah yang aku ingat. Setelahnya, semua menjadi hampa dan kosong. Aku tidak pingsan seperti sebelumnya, tapi rasanya nyawaku tercabut paksa. Aku linglung. Dan tak mengenali diriku lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANYELIR KUNING
RomanceANYELIR KUNING (TAMAT) "Mari kita bahagia, bahagia dengan tidak bersama. Aku membencimu sampai-sampai setiap sendi dalam tubuhku seakan terbakar ketika melihatmu," kataku. "Jangan lupa! Dalam tubuh seseorang... Mengalir darah kita berdua, darahku da...