Dua belas tahun yang lalu...
"Ling, jika kamu punya seekor kucing yang teramat disayangi. Kemudian seseorang datang dan meminta untuk memilikinya bersama. Apakah kamu mau berbagi?" Yusuf bertanya padaku. Napasnya masih memburu sisa perjalanan pria itu menjenguk calon bayi kami.
"Selama ia tidak meminta Abang, maka akan kuberikan," Bintik-bintik keringat di permukaan dadanya kusingkirkan dengan usapan. Dia terlihat jantan kalau begini.
"Abang serius, Ling!" Tangannya menahan tanganku.
Aku bangkit, menarik pelan selimut cokelat bermotif panda sedang memakan daun bambu yang membungkus kami agar lebih menutupi dada polosku.
Kantuk hilang, memilih menyandarkan tubuh di bahu ranjang. Kuangkat kepalanya ke atas pangkuan, kemudian jari lincah bermain di sela rambut memberikan pijatan ringan.
"Pertanyaan macam apa ini, Bang? Aling tidak suka!" tegasku tak ingin dibantah. Yusuf yang seperti ini terkesan sedang mencoba bernegosiasi denganku tentang suatu hal. Aku risih.
"Hanya 'andai', Ling!"
Mendengus tidak suka. Aku ingin Yusuf berhenti.
"Jika kamu punya mainan, dan ternyata mainan itu dulunya milik seseorang kemudian ia datang memintanya. Apa kamu akan memberikannya atau memilih berbagi?" tanyanya lagi.
"Apa yang mau diminta? Abang 'kan tau aku tak punya apapun yang berharga selain Abang."
Gantian ia yang mendengus.
"Jawab aja, Ling!"
"Kok maksa? Bagaimana kalau, Abang yang jawab!" serangku, tak suka di desak dan lagi, kenapa topik ini menjadi penting.
"Nggak maksa, hanya bertanya."
Hening. Beberapa kali aku dengar Yusuf menarik napas panjang. Ada yang menggangu pikirannya, gelisah jelas terbaca di mataku.
Dan dibandingkan mendesak ia bercerita, aku memilih menunggu dengan menatap dinding papan yang berlubang dimakan rayap.
Dua minggu sudah aku kembali ke rumah mamak, mempersiapan diri untuk lahiran.
Sebenarnya mertuaku tidak masalah aku melahirkan cucunya di rumah mereka karena kami memang menumpang di rumah orang tua Yusuf.
Akan tetapi karena ini kehamilanku yang pertama, mamak ingin aku di rumahnya saja, sebab khawatir merepotkan mertuaku katanya. Dan aku sependapat dengan mamak, syukurnya lagi Yusuf setuju dengan ide ini, jadilah kami di sini sekarang.
"Ling---"
"Hemm?"
"Temanku ingin menikah---"
Ia menarik napas panjang, membenarkan posisi tidur dengan terlentang menatap langit-langit kamar tanpa plafon, hanya atap sirap ulin yang sama lapuknya dengan dinding rumah.
"Masalahnya? Bukannya malah bagus, yah?" Pijatan tanganku berhenti. Cukup heran dengan sikap Yusuf malam ini.
"Rumit," lirihnya.
"Nikah kok, rumit! Nggak punya modal nikah?" Apalagi yang merumitkan dalam persiapan pernikahan selain masalah dana yang besar.
Dia berdecak. "Kamu dengar dulu, jangan memotong dan berasumsi sesuka hati!"
Aku mengangguk.
"Temanku telah beristri. Namun jauh sebelum bersama istrinya--- dahulu, ia memiliki seseorang yang spesial, sangat spesial, malah. Mereka bertemu ketika sama-sama menempuh pendidikan di kota." Pandangan Yusuf menerawang jauh seolah yang dialami temannya itu ia yang menjalaninya. "Tapi, karena suatu sebab akhirnya dua insan tersebut sepakat untuk berpisah." Nadanya getir pada bagian ini. Aku terbawa dalam cerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANYELIR KUNING
RomanceANYELIR KUNING (TAMAT) "Mari kita bahagia, bahagia dengan tidak bersama. Aku membencimu sampai-sampai setiap sendi dalam tubuhku seakan terbakar ketika melihatmu," kataku. "Jangan lupa! Dalam tubuh seseorang... Mengalir darah kita berdua, darahku da...