Berlahan jiwaku kembali.
Tak lagi menjilati luka.
Sudah kulupa kamu.Lalu,
Lagu pilu itu datang mengulang....
Kamu, tandai aku dengan egois._____________🍃____________
Drama, itu yang aku pikirkan saat melihat putra Yusuf menangis tersedu-sedu dalam dekap ayahnya. Sejak satu jam yang lalu air matanya itu deras berjatuhan.
"Jadi tidak?" Aku jengah melihat mereka.
"Sabar, Ling. Langit ditenangin dulu." Kak Alfi yang menyahut.
"Lama!" dengusku masih dalam posisi berdiri bersedekap menatap mereka.
"Ling! Langit itu juga anakmu. Seharusnya kamu yang menenangkannya, bukan Yusuf." Mamak berjalan dari arah dapur.
Enak aja!
Aku menoleh cepat, menetap tak suka pada mamak atas ucapannya.
"Kenapa?" Mamak bertanya ketika menyadari aku menengang.
"Anakku... " suaraku bergetar, "Cuma satu, dan aku belum lupa, kalian menguburnya di halaman samping." Dengan berani aku menghujam manik mamak.
Mata tua itu sedikit terkejut. Seketika ruang tamu menjadi hening.
"Sepuluh menit lagi! jika drama kalian belum selesai, aku pergi sendiri!" ancamku menarik kasar koper silver yang dipinjamkan kak Tera.
Yusuf menoleh. Tidak lama, tapi masih sempat aku lihat mata kesalnya.
"Tunggu di depan ya, Dek." Kak Alfi mensejajari langkahku. "Mulai saat ini kamu harus belajar mengenal Langit." Kak Alfi mengambil alih koper dalam tanganku.
"Kenapa? harus aku yang berusaha mengenal dia?" cekalan tanganku menghentikan langkah kak Alfi.
".... Dia masih kecil, Dek."
"Hanya karena dia masih kecil, dan aku tua? Kalian tega merongrong perasaanku?"
"Bukan begitu, Dek...."
"Sudahlah, Kak! aku pikir satu-satunya yang berada dipihakku hanya kakak. Rupanya sama saja! Langit! Yusuf! Langit! Yusuf! Mereka, mereka dan mereka. Aku muak!" Mungkin aku harus mengurangi komsumsi danging dan seafood. Tekanan darahku akhir-akhir ini sangat mudah naik. Walau aku tahu, obatnya hanya satu. Tak melihat sepasang ayah dan anak yang sedang sinetron di dalam sana.
"Langit itu...."
"Sudah Kak, aku mual."
"Kamu hamil, Dek?"
Lancangnya tanganku, karena detik berikutnya sudah bersarang di kepala kak Alfi.
"Auh... sakit, Dek!"
"Mulut. Di rem sedikit!"
"Mana tahu, Ling. Toh, kamu punya suami dan mengingat intimnya kalian tadi pagi," cengirnya. Dan sungguh, itu menjengkelkan.
Mungkin bagi kak Alfi candaan tadi, biasa. Namun tidak bagiku. Hal kecil seperti itu sangat mempengaruhi emosi. Dan hasilnya sudah pasti, aku semakin membenci mantan suamiku yang sekarang menjadi suamiku lagi.
"Dek, nanti di sana, Yusuf di hormati ya."
"Harus?"
"Bisakah kita melupakan masa lalu, Dek? Tidak hanya kamu, dia pun sama menderitanya."
Tanganku mengepal. "Kurang pengorbananku?"
"Kami melakukan ini semata bukan hanya untuk Yusuf ataupun Langit. Demimu juga, Dek."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANYELIR KUNING
RomanceANYELIR KUNING (TAMAT) "Mari kita bahagia, bahagia dengan tidak bersama. Aku membencimu sampai-sampai setiap sendi dalam tubuhku seakan terbakar ketika melihatmu," kataku. "Jangan lupa! Dalam tubuh seseorang... Mengalir darah kita berdua, darahku da...