Ada ratusan ribu bahkan milyaran wanita di muka bumi, aku satu di antaranya dan kebanyakan di antara kami pendamba kisah percintaan dengan ending happy ever after.
Lalu, apakah itu berlaku dalam hidup kami? Sebagian mungkin ya, dan separuhnya lagi bisa jadi tidak. Namun, di antara sebagian yang tidak itu, aku ragu seseorang di luar sana memiliki kisah seduka romanku.Keyakinanku mendebat bahwa apa yang terjadi beberapa jam lalu adalah mimpi. Tak tangung-tanggung, jerit kesakitan dari muara sedih sengaja kuteriakkan selantang cemeti dewa berharap membangunkan dari gelap yang menyakiti. Tapi rupanya ini nyata, senyata gema ijab kabul Yusuf membelah malam beberapa jam lalu.
Kak Syahrin mengatakan, seseorang mencariku, dan otak bodohku berebut mengatakan itu mas Sayhan. Kemudian- demi puluhan detik yang mengejar menit, aku tak siap menghadapinya. Jika bisa, kugunting saja waktu agar Yusuf tak perlu menjabat tangan kak Min sebagai syarat kembali halal terhadapku.
Waktu berlari dan setiap detaknya serasa merajam. Pemilik mata sendu yang menjadi mariyuana-ku itu, takkan pernah sanggup aku menatap matanya lagi setelah hari ini. Bagaimana menghadapi wajah terkhianati mas Sayhan, sedang amat jelas pemeta sendu yang bergelanyut di wajahnya adalah aku wanita penguasa hatinya.
"Tidak baik membiarkan tamu menunggu terlalu lama." Yusuf mengingatkan. Baju koko putih tanpa saku yang melekat di tubuhnya tak lagi licin, kusut seperti mukaku yang melirik bersama raut menghakimi.
"Cih, perusak kebahagian orang!" Tabrakku pada bahu kirinya. Aroma parfum saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah mamak kembali tertangkap indra pencium. Tak ada reaksi dari Yusuf selain diam bagai cadas di tengah kali hingga bayanganku hilang di lahap batas pandang.
Aku bisa saja gagal mempermalukan pria beranak satu itu, namun aku pernah mendengar pepatah yang mengatakan banyak jalan menuju Roma. Nah, membuncitkan egoku pun sama, rencana A boleh gagal tapi plan B, C dan D jangan sampai.
Keputusanku mungkin bukan hasil pemikiran panjang nan matang. Apa daya api telah membakar hingga tenggorokan, sedikit lagi otaku akan meleleh hangus menjadi abu lalu aku akan hilang. Jadi, dibandingkan mati dalam kuasa Yusuf, diri ini memilih hidup meski menikam hati satu persatu mereka yang mengaku keluargaku hingga koyak.
Ya, aku sudah memutuskan akan mengenggam tangan mas Sayhan kemudian mengajaknya berlari menjauhi masa lalu yang ingin sekali kutinggalkan.
Seseorang tengah asik beramah tamah duduk membelakangi arah kedatanganku. Dari potongan rambut dan postur tubuh ia jelas seorang pria, namun dari cara tawanya aku sadar harapanku debu tersapu badai, musnah, hilang dan tak berbekas.
Dia bukan mas Sayhan
Yusuf akan menertawaiku habis-habisan jikalau saja tahu, niat meninggalkannya di malam pengantin gagal sudah.
Jam sebelas lewat dua puluh menit, itu yang kulihat dari melirik benda kecil persegi empat di pergelangan tangan. Jika bukan mas Sayhan, siapa pria yang bertamu semalam ini tak mengenal adab?
"Sini, Ling!" Kak Alfi melambai. Aku mendekat, masih dengan wajah pias hasil kanvas putus asa.
Aku mendekat, pemilik baju batik motif elang di bagian punggung itu menoleh. "Hai-" sapanya sambil tersenyum. Tak berminat membalas sapaanya, aku melenggos duduk di samping kak Alfi.
"Dek, disapa itu loh sama Rizal. Kok, nggak nanggep?" Kak Alfi menampilkan mimik bertanya.
"Hehehe-tak masalah, Mas. Mungkin Aling cape dan ini pun sudah terlalu larut untuk menemui tamu." Pria bernama Rizal itu tertawa yang terkesan dipaksakan. "Ada yang ingin saya bicarakan pada Yusuf terkait cuti yang ia ajukan. Maaf, jika menganggu waktu istirahatnya," sambungnya tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANYELIR KUNING
RomanceANYELIR KUNING (TAMAT) "Mari kita bahagia, bahagia dengan tidak bersama. Aku membencimu sampai-sampai setiap sendi dalam tubuhku seakan terbakar ketika melihatmu," kataku. "Jangan lupa! Dalam tubuh seseorang... Mengalir darah kita berdua, darahku da...