Itu cuma ancaman, itu cuma ancaman, itu cuma ancaman, itu cuma ancaman, itu cuma ancaman....
Entah sudah berapa kali kalimat itu aku rapalkan untuk mengusir kalut. Walau jam telah menunjukan pukul 03.00 dini hari, aku masih betah di teras sendiri. Kantuk sedang menjauh, membiarkan sentimen bertahan memanasi batin. Aku sangat marah, sampai rasanya kepala ingin pecah.
Di bandingkan perlakuan Yusuf padaku tadi, perkataan kak Syahrin jauh lebih membuatku cemas. Andai ia bukan kakakku, andai aku tak melakukan kesalahan dengan pergi terlalu lama, andai dosaku tak begitu banyak padanya, tentu aku telah membantahnya bisa jadi juga memaki.
Bagaimana bisa ia menyarankan kami untuk kembali bersama, mengulang pernikahan? Astaga, omong kosong apa yang kak Syahrin pikirkan, sedang ia tahu, di dalam dadaku hanya tersisa kebencian untuk Yusuf.
Ini semua salah Yusuf, jika ia bisa menahan nafsu binatangnya itu, tentu kami tidak akan berakhir dengan kak Syahrin mendapati kami dalam situasi intim. Situasi di mana aku kehilangan muka di hadapan kakakku sendiri. Lalu sekarang, dengan kesalahpahamannya itu, kak Syahrin memutuskan sesuatu yang lagi-lagi merugikan aku.
Sungguh semua hal buruk yang terjadi di hidupku penyebabnya tak lain si pria pengkhianat itu, aku membenci semua yang ada padanya. Bahkan setiap helai rambut yang gugur dariku pun ikut mengutuknya. Rasa-rasanya dadaku akan meledak memikirkan kebodohan Yusuf.
"Tenang, Ling. Kak Syahrin hanya mengancam." Itu katanya sewaktu kulayangkan tatapan membunuh saat kak Syahrin meninggalkan kami tadi.
"Apanya yang tenang, hah? Ingat Yusuf, kalau perlu catat dalam benakmu. Seujung kukupun aku tak sudi kembali bersamamu!"
"Sttt! Pelankan suaramu, Ling. Anakku masih berada di antara kita," liriknya pada bocah lelaki berbaju hitam gambar spiderman dalam dekapannya.
"Dia putramu bukan anakku, jadi aku tidak perduli." Kukedikkan bahu dengan egois . Yusuf menatapku sebentar lalu menggeleng cepat, sayangnya hal itu tertangkap mataku. "Apa? Kau mengataiku dalam hati?" tuduhku mendelik tajam padanya.
Yusuf terkekeh. "Kamu sangat pemarah, Ling. Pergi kemana Alingku yang penurut dan manja."
Aku menoleh padanya lalu tersenyum mengejek. "Mati."
"Ling-" kuangkat lima jari tangan di hadapannya.
Geram, sungguh aku geram pada Yusuf. Ingin sekali rasanya aku terbang mencakar-cakar muka sok tenangnya itu. "Menjauhlah, Yusuf. Aku ingin sendiri, kumohon," pintaku lelah. Semakin lama ia di sampingku, mulut tak bersaringku ini semakin tergoda mengatainya.
"Tunggu. Beri aku beberapa menit, jangan kemana-mana, aku akan kembali," katanya menjauh, aku melirik dari ekor mata tak berniat menanggapi.
Hanya karena aku membiarkan dia berbicara padaku beberapa jam belakangan ini, sekarang dia merasa besar kepala. Caranya menyuruhku menunggunya tadi adalah bukti bahwa Yusuf pria tak sadar diri. Beraninya dia memerintahkanku menunggunya, memangnya siapa dia.
Sepeninggalan Yusuf, aku kembali dihantui rasa cemas. Ini tidak seperti keinginanku. Memperoleh izin untuk menikah dengan mas sayhan adalah satu-satunya alasan aku kembali ke Redan, namun kenapa semua menjadi serumit ini. Dan lagi-lagi karena Yusuf, pria itu selalu menjadi sumber ketidak bahagianku. Tidak sukaku padanya sungguh tak dapat kudeskripsikan lagi.
Handphone dalam saku piyamaku bergetar. Gambar hati yang tertera di layar membuatku mengetahui siapa si penelepon. Baru semalam aku mengganti nama mas Sayhan dengan gambar yang sekarang terpapar di layar persegi empat itu. Aku mengulum senyum geli melihatnya, terkesan anak remaja sekali.
"Hei, belum tidur?" Layar di depanku menampakkan kening berkerut pria tampan berbaju koko lengkap dengan pecinya.
Aku menggeleng. "Kenapa? Kangen aku?" tanyanya dengan membetulkan peci.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANYELIR KUNING
RomanceANYELIR KUNING (TAMAT) "Mari kita bahagia, bahagia dengan tidak bersama. Aku membencimu sampai-sampai setiap sendi dalam tubuhku seakan terbakar ketika melihatmu," kataku. "Jangan lupa! Dalam tubuh seseorang... Mengalir darah kita berdua, darahku da...