BAB 01 CINCIN?

63.3K 6K 279
                                    

Menapakkan kaki di sabana yang membentang di hadapannya. Terlihat begitu luas dan hijau. Caca membidikkan kamera yang tengah dipegangnya.

"Key.. sebelah sini. Lihat.."

Caca langsung menoleh ke arah kanannya. Pria yang berdiri menjulang tinggi di sampingnya tampak menunjukkan sesuatu. Caca segera bergeser mendekat, dan melihat apa yang akan ditunjukkan Rendi. Bos nya kalau menurut istilah professional. Karena Caca memang bekerja sebagai asisten fotografer di sebuah kantor majalah terkenal. Dia yang baru saja lulus beberapa tahun belakangan memang belum terlalu berpengalaman, sehingga menerima menjadi asisten Rendi, salah satu kakak tingkatnya yang jauh lebih professional. Tapi dia menikmati aktivitas ini.

"Wah bagus bang, bisa buat tajuk minggu depan. Itu awannya terlihat kayak macam-macam roti ya?"

Caca mengamati objek yang tengah ditunjuk Rendi dan pria itu tersenyum.

"Iya keren, aku ambil beberapa dulu. Kamu udah selesai dengan pepohonannya Key?"

Caca menganggukkan kepala. Dia membenarkan hijab yang kini melekat di kepalanya.

Rendi tersenyum senang dan menatap jam yang melingkar di tangannya.

"Ok habis ini kita balik ke Jakarta."

Caca menganggukkan kepala lagi. Dia merasa bebas ketika melakukan pekerjaan ini setidaknya dia akan menjadi dirinya sendiri. Ini hobi dan juga pekerjaannya. Saat dia berbalik untuk kembali ke objek yang tadi tengah akan dibidiknya, ponsel di saku celananya berbunyi. Caca segera merogoh sakunya dan mengernyit melihat nomor asing di layar ponselnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Ini bener nomernya adiknya Alvin kan?"

Suara berat di ujung sana membuat langkah Caca terhenti. Dia hafal benar ini suara siapa. Caca segera menghela nafasnya dan mencoba untuk bersikap tenang. Meski jantungnya sudah berdegup dengan kencang.

"Mas Kenan?"

Caca kini menatap Rendi yang tengah serius dengan kameranya, lalu Caca berjalan menjauh. Tidak mau teleponnya dengan Kenan didengar pria itu.

"Aseekk ternyata Caca beneran, owh ya Ca kamu mampir ke klinikku yang ada di Kemang ya. Ini Alvin tuh tadi ninggalin cincin yang mau diberikan kepada Bella."

Caca langsung mengernyitkan kening. Dia ingat kakak kandungnya itu malam ini akan melakukan lamaran resmi kepada Isabella. Sahabatnya yang sejak dulu sepertinya dicintai oleh Alvin, tapi baru sekarang mereka sadari berdua. Caca menendang-nendang kerikil di bawah sepatunya.

"Kok Caca, ini lagi di Bogor juga. Kenapa gak telepon Kak Alvin aja."

Caca mencoba untuk menghindari Kenan. Pria yang sudah membuatnya canggung semalam. Pria yang tiba-tiba datang lagi di dalam kehidupannya. Entah mengapa Caca merasa gelisah dengan itu semua. Padahal dia tahu, Kenan itu hanya kenangan di masa kecilnya. Tapi Kenan juga yang membuat Caca tidak pernah memberi tanda kepada setiap pria yang suka kepadanya.

"Kamu gak kasian sama kakak kamu? Dia lagi grogi karena mau lamaran nanti malam. Udah kamu datang ke klinikku aja ya, Aku kasih alamat lewat wa."

Sebelum Caca bisa menjawab, sambungan tiba-tiba terputus. Dan Caca menghela nafas lagi. Dia harus ke tempat Kenan.

*****

"Beneran di sini?"
Rendi menatap klinik yang merangkap pet shop dengan plang bertuliskan 'KENPETS' itu. Akhirnya dia di sini, menuruti Kenan kalau bukan karena dia sayang dengan kakaknya dia mungkin tidak akan di sini.

"Iya bang. Makasih ya udah nganterin sampai sini."

Caca membuka pintu dan keluar dari mobil Harier hitam milik Rendi itu.

"Ok. Besok ada meeting di kantor Ca. Jangan telat ya."

Caca menganggukkan kepala saat Rendi memberitahu itu lalu segera melajukan mobilnya meninggalkan Caca.

"Siapa pria itu?"

Suara itu membuat Caca langsung berbalik dan kini menatap pria yang tengah bersedekap di depan pintu klinik yang terbuka. Kenan hanya mengenakan celana jins, sepatu kets dan juga kemeja warna biru muda. Tampak begitu segar dan santai.

"Bos nya Caca," jawabnya dengan melangkah ke arah Kenan. Tapi alis Kenan terangkat satu.

"Berduaan di dalam mobil? Bukan mahram kan?"

Ucapan Kenan itu membuat Caca menghentikan langkahnya. Dia menatap Kenan yang kini tetap menatapnya dengan serius.

"Apaan sih? Bukan urusan mas juga kali."

Jawabannya yang sarkas itu membuat Kenan kini menegakkan tubuhnya. Pria itu melangkah ke arahnya. Lalu sebelum Kenan mengatakan sesuatu adzan maghrib berkumandang.

"Shalat dulu di masjid."
Kenan menunjuk masjid yang ada di seberang jalan. Caca ragu, tapi akhirnya dia menganggukkan kepala. Mengikuti Kenan yang melangkah terlebih dahulu di depannya. Tapi tetap menjaganya saat mereka menyeberang jalan. Mereka berpisah saat Kenan berpamit masuk ke dalam masjid. Caca sungguh tidak menduga, Kenan yang memang sangat taat beribadah.

****

"Meeeeoooonng."

"Miaaauuuu.."

"Ahhhh jangan mendekat.. ih.."

Caca berusaha menghindar saat masuk ke dalam klinik. Mereka sudah kembali dari shalat maghrib dan Kenan mengajaknya masuk. Saat baru saja melangkahkan kaki dia disambut segumpal bulu putih yang ternyata seekor kucing yang sangat gemuk dengan bulu putih bersih. Caca segera berlari menepi, dia phobia dengan seekor kucing.

Kenan yang menyadari ketakutan Caca segera menggendong kucing itu dan membelainya.

"Ini Moza namanya. Lucu gini kok."

Caca hanya menggelengkan kepala melihat Kenan mengusap-usap kucing itu dengan sangat sayang.

"Bentar, aku masukin ke kandang dulu ya. Kamu duduk aja di sana."

Kenan melangkah masuk ke dalam dan Caca segera menuju sofa putih yang tersedia di ruang tunggu klinik itu. Dia menghempaskan tubuhnya di sofa itu. Semua penatnya akhirnya mereda.

"Nih.."

Kenan tiba-tiba datang dan mengulurkan sebuah kotak berwarna merah beledu. Caca menerima kotak itu dan membuka isinya. Sebuah cincin mas putih dengan permata di tengahnya. Cincin yang sepertinya bukan milik Alvin karena dia tahu kakaknya itu membeli cincin emas kuning dengan nama Bella untuk inisialnya.

"Ini bukan punya Kak Alvin kan? Caca tahu loh.."

Caca kini menatap Kenan yang sudah duduk di seberangnya. Pria itu tampak menatapnya datar. Tapi kemudian menatap jam yang melingkar di tangannya.

"Taksi yang aku pesankan untuk kamu udah datang. Kamu pulang sana. Jam 8 acaranya Alvin. Nanti aku nyusul ke sana."

Caca kembali mengernyitkan kening. Kenapa omongan Kenan tidak sinkron dengan ucapannya?

"Tapi mas ini bukan punya Kak Alvin."

Caca masih menunjuk kotak cincin yang dipegangnya itu. Tapi suara klakson langsung terdengar. Kenan dengan tegas memberi isyarat kepada Caca untuk beranjak. Dengan malas Caca akhirnya berdiri dan melangkah keluar dari klinik. Kenan sudah mendahuluinya lalu membukakan pintu taksi, memaksanya segera masuk ke dalam. Kenan menyebutkan alamat kepada supir taksi dan begitu saja. Caca pergi dari depan Kenan dengan duduk di dalam taksi. Masih bingung dengan sikap Kenan. Tapi satu menit kemudian ada pesan di ponselnya. Caca segera membukanya..

"Kalau bukan punya Alvin, berarti cincin itu punya kamu."

Hanya dengan begitu saja pesan itu yang tentu saja dari dokter yang memiliki petshop dan kucing bernama Moza. Tapi Caca masih tidak mengerti, cincin punyanya?

BERSAMBUNG


MAS, RASA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang