03 -- Obrolan Penuh Arti

19.4K 2.3K 194
                                    

Besok sudah senin lagi. Jangan lupa kumpulin semangat ya.

Komen yang banyak nan serunya ditunggu. 😘😘😘

- - - - -

[Tepat saat makan siang, di kafe natura.]

Pesan singkat itu yang pada akhirnya berhasil mengirimku duduk di salah satu sudut kafe ini. Aku menyandang dagu, pandanganku berkeliling setengah tak berselera. Lebih dari dua puluh meja yang tersedia di ruangan ini telah berpenghuni. Semua berpasangan atau malah bergerombol, tentu saja selain aku dan bayanganku yang memilih kursi di sudut terjauh.

Pemandangan di depan sana terbanding terbalik denganku. Jika bibirku membentuk segaris masam dan setengah aura pemalas, maka mereka semua malah tampak dilingkupi dengan semangat yang menggila. Senyum lebar dan tawa renyah mereka sedikit membuatku jatuh iri. Seolah tak ada perih dan sakit yang pernah mereka tanggung. Seolah hidup mereka, begitu ringan dan mudah untuk dijalani. Aku saja lupa, kapan aku bisa tertawa selepas itu.

Penyakit hati ini yang selalu berhasil menyumbat laju napasku. Kudesahkan udara dari kantong paru, lalu pergi mengingatkan diri sendiri bahwa aku tak perlu jadi seperti mereka. Telah kudapatkan cara yang paling ampuh untuk melalui hari demi hari. Lagi pula, sendiri begini juga tak terlalu menyedihkan. Alih-alih selalu membuatku nyaman.

"Salwa, maaf sedikit terlambat."

Kuturunkan tangan yang sedari tadi menopang dagu. Tubuhku yang semula melengkung malas, kembali kutegakkan dengan tegap. Pria yang membuatku menunggu di sini hampir dari sepuluh menit itu datang dengan dada naik turun. Selain napasnya yang putus-putus, ada pula butir-butir keringat yang membasahi area dahi dan lehernya.

"Ban mobilku tiba-tiba pecah. Aku lari lumayan jauh, supaya nggak bikin kamu nunggu lebih lama dari ini."

Jangan kira aku akan terkesan. Jika dia seolah sedang menjelaskan perjuangannya, maka aku hanya merasa dia sedang tidak dalam mode pintar-mendekati bodoh. Ojek atau taksi bertebaran di jalanan, lantas mengapa dia memilih berlari di bawah matahari yang sedang terik-teriknya?

"Tanpa dandan pun, kamu masih bisa secantik ini, ya?"

Aku menahan dengusan mendengar pujian itu. "Jadi, adikmu mana?" tanyaku mengingatkan ia pada maksud pertemuan kami siang ini. Sungguh, aku mungkin adalah salah satu gadis yang benci akan basa-basi. Pakaiannya yang basah, sama sekali tak mengurangi sifat tengilnya di mataku.

"Ah, dia ... tiba-tiba ada urusan mendadak. Jadi-"

"Ya udah. Kita atur lain waktu saja." Serobotku, lalu mengangkat tubuh untuk berdiri.

"Tunggu-tunggu," Aldi memiliki gerak refleks yang cukup cepat. Aku baru berhasil menyampirkan tas ke pundak, tapi dia malah sudah berdiri siap menghadang jalanku. "Adikku nurut sama semua keputusanku kok. Jadi kita bisa bikin deal-deal apalah itu tanpa dia. Gimana?"

"Aldi-"

"Wah, ini pertama kalinya kamu nyebutin namaku. Ulangi coba-"

"Aku pulang."

Kuduga, pria ini begitu menyukai drama. Dia pandai sekali bertingkah dengan dua tangan, kaki, hingga mimik mukanya untuk berhasil menyulapku jadi badut-badut yang boleh ditonton banyak mata. Sekarang saja, ada beberapa yang menaruh senyum mencurigakan. Sebagian tatapan malah kuartikan sebagai hujatan. Seolah aku sudah sangat keterlaluan karena berani membuat pria tampan dengan kemeja licin memohon-mohon untuk gadis tak cantik semacamku.

Wajahku bersaing merah dengan tomat. Sementara pria menyebalkan yang sukses membuatku malu setengah mati itu malah tercengir dengan lebar. Kuembuskan napas dengan kasar. Kembali aku duduk, sebelum tanganku yang menari lebih dulu menerjang rahang-rahang tegasnya. Sungguh, aku hanya terbiasa ditatap penuh kekaguman. Ditatap seolah aku gadis tak tahu diri, baru sekali ini kurasakan.

KEMBALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang