Hallo, assalamualaikum.
Aku buka lapak baru, sebelum nutup lapaknya si gadis amnesia ya. 😁😁
Untuk kali kedua, Aku mau nyoba pake pov-aku. Biar ndg bosan. Biar makin keasah gitu kemampuanku. *halah* Semoga, Sekalipun cerita ini menggunakan pov-aku, kalian tetap bisa menikmati yaaaa.
Ceritanya terinspirasi dari satu pasangan. Tapi ya gitulah, ada tambah kurang, ganti tukar, dll, supaya ini karya pure jadi punyaku dan tentu saja jauh-jauh dari menyinggung orang lain.
Jom lah, dibaca, divote, dan dikomen tentunya. 😁😁
- - - - -
Kuberi tahu satu rahasia. Aku membenci gelap. Malam, ruangan tanpa cahaya, aku tidak menyukai mereka. Andai memiliki satu kekuatan ajaib, aku hanya ingin mengubah gelap jadi terang dan meniadakan malam untuk terus menghidupkan siang. Tapi itu mustahil, aku tahu. Jadi, manusia lemah sepertiku bisa apa selain mencoba berdamai?
Ada banyak alasan yang bisa kuberikan untuk membenarkan semua kebencianku. Aku tidak suka malam, karena beberapa kejadian buruk hadir di kala matahari tengah tidur. Ayah selalu pulang saat malam. Bukan membawa uang, pria tua itu membawa sebotol air dengan kandungan alkohol tinggi. Bukan membawa kehangatan, dia selalu pulang untuk membuat ibu sedih, menangis, bahkan mengaduh kesakitan.
Masih saat malam berkuasa, ibu pernah meninggalkanku begitu saja di rumah. Memang ada Ayah di sana, tapi apa ibu pikir Ayah akan memelukku saat petir datang untuk membuatku takut? Apa ibu pikir Ayah akan menyediakan makan untuk setiap rengekan lapar yang kulirihkan? Tidak, Ayah tidak bisa melakukan itu semua. Ayah tak pandai menyayangiku.
Dan hal terburuk yang pernah terjadi sepanjang malam yang kulalui adalah, ingatan di mana ibu menutup mata tanpa bersedia membukanya lagi. Bulan sedang bulat-bulatnya malam itu. Tersenyum cerah, menyaksikanku meraung-meraung meminta ibu untuk berhenti tidur, segera bangun dan membuka mata. Bulan masih saja berpendar cantik, tak peduli aku banjir air mata hingga tergenangi muram durja.
Ruangan tanpa cahaya juga meninggalkan trauma tersendiri untukku. Saat ibu minggat malam itu, lampu tiba-tiba padam. Di mana-mana hanya ada gelap. Aku masih sekitar sepuluh tahun saat itu. Masih cukup pemberani, belum sepenakut sekarang untuk keluar kamar dan meneriakkan nama ibu. Tak ada sahutan balik, dan aku hanya melihat gelap yang terasa makin mencekam.
"Salwa, balik ke kamar. Tidur." Ayah sempat menyahut setelah mendengar teriakanku.
Aku masih celingukan. Benar-benar tak melihat di sisi mana Ayah berada. "Mati lampu, Yah. Kasih nyala lilin."
"Ayah nggak tahu di mana ibumu nyimpan lilin. Sana tidur."
"Tapi--"
"Balik ke kamar lalu tidur Salwa. Jangan teriak-teriak, Ayah pusing."
Aku dalam umur sepuluh tahun, tak banyak menuntut pada Ayahku yang memang tak dianugrahi rasa kasih asih dalam benaknya. Langkahku kuseret kembali ke kamar. Dihimpit gelap yang menjadi, aku kembali ke atas ranjang. Kutarik selimut, dan kukatakan pada diriku sendiri untuk tidak jadi penakut. Untuk tetap jadi pemberani seperti yang sudah-sudah.
Mataku mulai terpejam. Nyenyak mulai membelai tidurku dengan lembut. Aku sungguh hampir tiba di awan, sebelum suara berdebum mendorongku kembali pada kesadaran. Aku terkejut. Berubah panik saat aku tak bisa melihat apapun. Prasangkaku berkeliaran ke mana-mana. Sudut-sudut gelap itu seperti membuat bentukan-bentukan mengerikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI
General FictionSalwa tersesat. Ayah mengirimkan seseorang untuk membawanya Kembali.