05 -- Termakan Stategi

15.3K 2.1K 235
                                    

Aku balik lagi bawa satu cerita. Kalian silahkan datang lagi dengan satu bintang dan sepuluh komennya ya. Kutunggu ya. 😘😘😘

- - - - -

[Jemput aku ya, Sal?]

[Sip. Kebetulan aku udah mau jalan. 15 menit lagi sampai sana.]

[Wth, ini jam berapaaaaa? Acaranya masih empat jam lagi.]

[Aku ada urusan di sekitar situ juga soalnya. Jadi jemput nggak nih?]

Kutunggu satu hingga dua menit, tetap tak ada tanda-tanda bahwa Talia sedang berusaha membalas pesanku. Senyum geliku terukir. Di atas kepalaku seolah tercipta beberapa gelembung udara yang berisi runtutan adegan Talia yang tengah jungkir balik untuk mempersiapkan dirinya. Lima belas menit itu tidak lama. Terlalu singkat bagi seorang Talia untuk menyulap diri jadi gadis cantik.

Tapi memang seperti itu aturan main yang kubuat. Meski memiliki urusan di sekitar acara fashion show itu tak lebih dari sekadar dalih, tapi sungguh aku tak bisa menunggu hingga satu jam ke depan dengan jalan terkurung di kamarku sendiri. Tamu di luar sana, membuatku enggan keluar kandang. Jika mungkin, aku ingin pindah ke dunia lain yang tidak ada dia di dalamnya.

"Salwa, bisa keluar dulu?"

Aku mendesah panjang. Tubuhku berguling dari ranjang lalu berdiri dengan enggan. Aku mengambil ransel kecil yang sudah kupersiapkan sejak semalam. Mencangklongnya lebih dahulu baru menuruti kemauaan Ayah.

Saat daun pintu terbuka dengan lebar, hanya angin kosong yang jadi sekat. Partikel-partikel kecil itu bahkan tak mampu jadi penghalang pandangan. Membuat Ayah begitu terkejut dengan penampilanku, sedang Aulian sudah membuang muka. Aku sendiri ... cukup berdebar dengan beberapa lembar malu yang bersarang di hati kecilku. Di bawah sana, kakiku cukup bergemetar.

Tapi dibanding merona, rasanya aku lebih ingin tertawa menang. Ide yang muncul dengan tiba-tiba begitu mendengar suara mesin SUV putih berhenti di depan halaman itu rupanya cukup ampuh menampar telak keberanian Lian yang entah setinggi apa saat ini. A-skirt di atas lutut dipadu dengan kemeja tanpa lengan kuharap mampu membuat Aulian berhenti.

Dengan penampilanku ini telah kujelaskan dengan gamblang, betapa aku dan dia memiliki perbedaan sedalam jurang. Aku bukan termasuk dalam hal-hal yang seharusnya berdampingan dengan ia. Dan ia sama sekali tak memiliki kriteria-kriteria yang kupikir cocok dengan kepribadianku. Sifatku dan sifatnya adalah bentuk kontradiksi, yang rasanya tak akan mungkin untuk disatukan dalam satu rumah. Jembatan bernama pernikahan pun tak menjamin aku dan dia bisa terhubung. Dalam bayanganku, hanya akan ada seteru dan selisih sepanjang hari.

Mengerikan?

Jelas. Aku sudah menyaksikan betapa jembatan itu gagal menyatukan dua pribadi di bawah satu atap. Sudah kurasakan betapa semua keadaan itu menyiksaku sampai ke ulu hati dan keping darah. Pondasi rasa percaya dan saling memahami itu ternyata tak seberapa kuat melawan gempuran ego masing-masing. Janji yang katanya akan selalu melindungi satu sama lain terlupakan begitu saja. Tersisa saling hujam-menghujam jantung.

Untuk itu aku harus menyadarkan Aulian yang hanya tahu arti sebuah keluarga bahagia tanpa pernah tahu bahwa pernikahan bisa juga untuk menikam satu sama lain. Dia harus tahu bahwa keputusannya tidak benar. Menikahiku yang berbeda dengannya adalah hal yang sangat keliru. Keliru untukku, untuknya, dan untuk banyak pihak.

"Salwa, kamu biasanya nggak pakai baju kayak gini?"

Aku mengendikkan bahu, "Ayah aja yang nggak pernah tahu kehidupanku yang sebener-benernya. Ini ... normal banget."

KEMBALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang