Happy Election Day.
Siapapun yang terpilih, semoga memang dia lah pemimpin yang tepat. Siapapun yang terpilih, wajib kita hormati loh ya. Siapapun yang terpilih, semoga tidak ada perpecahan di negeri kita. Spread love, not hate ya. ❤❤❤- - - - -
Aulian benar tentang betapa Mama itu sebenarnya adalah pribadi lembut yang hanya tengah berusaha menjatuhkan citranya semata. Suara sinis dan tatapan mata tak bersahabat itu mungkin bermula dari tingkahku sendiri. Setelah kuingat-ingat, Mama memang berubah drastis sejak aku yang terang-terangan mempermainkan niat baik Aulian malam itu. Seakan belum seberapa mengecewakan, aku malah menantang balik Mama siang hari kemudian. Jadi, wajar apabila Mama selalu menaruh kesal tiap kali ada mukaku yang menyapa pandangannya. Sangat normal jika dia lebih banyak meradang, tiap kali aku berusaha bersikap manis padanya. Dalam pikirannya, pasti sikap manisku tak lebih dari sandiwara semata.
Kuakui, aku yang bersalah. Tapi, entah mengapa aku masih belum memiliki keinginan untuk menjemput maaf Mama atas dua perkara itu. Ada sedikit pembenaran yang kugenggam, yang menahan dua kakiku untuk merangkak meminta ampun. Pikirku, malam itu aku masih sangat berhak menolak untuk sesuatu—pernikahan—yang memang tak kukehendaki. Tapi siapa yang menyangka, bahwa rupanya keadaan berbalik arah menyerangku. Tak memberiku pilihan, selain memanfaatkan pertolongan yang Aulian bawa. Memanfaatkan Aulian bukan berasal dari kemauanku. Aku hanya sedang menikmati kebaikan hati seorang pria.
Apa sikapku terlalu jalang?
"Kita mampir ke supermarket dulu, gimana, Sal?"
Aku mengangguk sebagai persetujuan, "ada yang mau dibeli?" tambahku bertanya.
"Aku pengen beli satu kemeja. Kamu mau beli pakaian juga?"
Tegas, kugelengkan kepala. Aku tidak memegang uang banyak. Tinggal beberapa lembar sebagai modal mengisi perutku, perut Ayah dan Aulian saja. Pengobatan Ayah masih besok, artinya Aulian akan memberiku uang juga pada besok yang tepat. Dan baju, sungguh tak pernah berada dalam skala prioritasku.
Lampu lalu lintas yang menyala merah, membuat laju roda SUV Aulian ikut terhenti. Pria itu mengetukkan dua jari telunjuknya di atas kemudi. Bibirnya tampak bergumam meski tiada suara yang dihasilkan. Dia seolah sedang berlantun lagu, meski tak ada musik yang berputar di sekitar kami. Angka lima belas masih bersemayam di layar digital di atas sana. Aulian mengeliarkan matanya ke sana ke mari dan melewatkan keberadaanku begitu saja. Lantas mengapa aku malah menjatuhkan mata hanya untuk memperhatikan setiap gerak-geriknya?
Sahut-sahutan klakson yang pada akhirnya berhasil mengubah arah dagu dan leherku. Jantungku berdentam saat Aulian mulai melajukan mobilnya lagi. Dia berbelok ke kanan, bertemu dengan lalu lintas yang padat merayap di sore yang hampir pungkas ini. Sekonyong-konyong aku menahan diri agar tak menoleh kembali ke arah Aulian untuk kedua kali. Pria itu sungguh-sungguh tak baik bagi kesehatan.
Butuh sekitar dua puluh menit untuk menggapai pusat perbelanjaan yang Aulian maksud. Dengan mulus, dia memarkirkan mobilnya di satu sudut. Pria itu menatapku sambil mengendikkan dagu hingga hampir menyentuh pundaknya. Aku jadi belajar banyak untuk memahami tingkah pria sulit ini, termasuk dengan membaca beberapa isyarat tubuh yang kadang menghasilkan ambiguitas.
Kami hanya berjalan bersisian. Jangan mengira dia akan bersikap manis dengan menggandeng tanganku di sepanjang ubin yang kami pijak. Tidak. Aulian lebih memilih mengubur tangannya di dalam saku, atau mengikat dengan tangannya yang lain. Pria yang kini tampak tampan dengan kaos abu-abu ini tidak berusaha mencari jemariku lagi setelah satu penolakan kulayangkan dua hari yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI
General FictionSalwa tersesat. Ayah mengirimkan seseorang untuk membawanya Kembali.